Minggu, 28 September 2014

Coretan Perawat Indonesia

Antara Perawat dan Dokter
Antara Perawat dan Dokter
Who Care?

Salah satu dosen kami (dosen di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia) pernah bercerita tentang pengalamannya ketika sedang megikuti acara penataran bagi dosen-dosen se-UI. Ada dosen dari fakultas lain yang bertanya, “Pak, apa bedanya Fakutas Ilmu Keperawatan (FIK) dan Fakultas Kedokteran (FK)?”. Lalu dosen kami menjawab, “Ya beda, kalau lulus dari FIK jadi perawat, kalau lulus FK jadi dokter” diikuti tawa dosen lainnya. “Kalau FIK itu care (merawat) pak, sedangkan FK itu cure (mengobati)” lanjut dosen kami.

Pengalaman yang pernah kami alami yang hampir serupa dengan kejadian diatas adalah ditanya “Perawat itu kerjanya ngapain ya?”. Teman saya juga pernah ditanya, “Kuliah di keperawatan kalau lulus jadi dokter atau bidan?”. Ada juga yang berfikir, “Setelah lulus dari keperawatan nanti bisa nglanjutin di kedokteran (S2 maksudnya) dan jadi dokterkan?”. Pertanyaan diatas masih sering ditanyakan di masyarakat. Kami sebagai bagian dari profesi keperawatan (yang saat ini posisi kami masih sebagai mahasiswa) merasa miris dengan kenyataan ini. Oleh karena itu hal ini menjadi salah satu tanggung jawab kami sebagai mahasiswa keperawatan untuk memberikan penjelasan atau gambaran tentang profesi perawat/nurse.

Perawat adalah sebuah profesi, dimana sebuah pekerjaan akan disebut profesi maka mempunyai syarat, beberapa diantaranya: kode etik, mempunyai organisasi profesi, mempunyai body of knowledge, diperoleh melalui pendidikan formal. Begitu juga perawat, mempunyai kode etik keperawatan, mempunyai organisasi profesi (di Indonesia PPNI), diperoleh melalui pendidikan formal, mempunyai body of knowledge, dan lain-lain. Jenjang pendidikannya mulai dari SPK (sekarang sudah dihapus), D3, D4, S1 Keperawatan, S2 Keperawatan dan Spesialis (Keperawatan Komunitas; Keperawatan Jiwa; Keperawatan Maternitas; Keperawatan Medikal Bedah; Keperawatan Keluarga; Keperawatan Gerontik; Keperawatan Gawat Darurat; Keperawatan Anak), dan S3. Untuk di Indonesia baru ada sampai jenjang S2 dan Spesialis (Keperawatan Komunitas; Keperawatan Jiwa; Keperawatan Maternitas; Keperawatan Medikal Bedah; Keperawatan Gawat Darurat; Keperawatan Anak).

Perawat dapat berperan sebagai pendidik, peneliti, advokat, pelaksana. Pendidik disini dapat sebagai dosen maupun ketika perawat memberikan penddikan kesehatan kepada klien. Peneliti yaitu mengadakan penelitian untuk mengembangkan ilmu dan praktik keperawatan. Advokat yaitu ketika membantu klien untuk mendapatkan hak-hak klien (seperti mendapat info tentang ASKESKIN; obat yang sesuai jangkauan ekonomi klien; pengobatan atau perawatan atau terapi yang sesuai). Pelaksana yaitu perawat yang bekerja memberikan asuhan keperawatan misalnya di tempat peayanan kesehatan seperti rumah sakit, dll.

Seorang perawat adalah profesi yang diharapkan selalu care (peduli) terhadap klien (pasien yang tidak hanya sebagai objek, tapi juga subjek yang ikut menentukan keputusan akan pengobatan/terapi/perawatan terhadap dirinya dan terlibat secara aktif). Seorang perawat memandang seseorang klien secara holistik/menyeluruh. Perawat tidak memandang klien hanya sebagai individu yang sedang sakit secara fisik/bio, tetapi juga memperhatikan kondisi mental/psikis/kejiwaan, sosial, spiritual, dan cultural. Oleh karena itu, untuk memberikan asuhan keperawatan, seorang perawat harus mengkaji aspek yang holistik tersebut (bio, psiko, sosio, spiritual, dan cultural). Dan asuhan yang dilakukan perawat adalah memberikan perawatan, sedangkan dokter adalah mengobati.

Salah satu contohnya adalah misalnya klien mengalami batuk. Maka sesuai profesinya, yang dilakukan dokter ke klien ini adalah memberikan obat batuk (misalnya dextral). Sedangkan yang dilakukan perawat atau asuhan keperawatannya adalah mengatasi masalah keperawatan apa yang timbul akibat batuk yang dialami klien tersebut dengan cara melakukan pengkajian terlebih dahulu, seperti: kapan mulai batuk, terus-menerus atau waktu-waktu tertentu, berdahak atau tidak, jika berdahak perlu dikaji apakah klien bisa mengeluarkan dahaknya, seperti apa dahaknya (jumlah, warna, konsistensi), apakah pernapasan klien terganggu, bagaimana pola napasnya, apakah aktivitas klien terganggu, jika ya maka perlu dikaji aktivitas seperti apa yang terganggu.

Jika klien batuk dan dahaknya sulit keluar, maka perawat mengajarkan cara bagaimana batuk yang efektif untuk mengeluarkan dahaknya atau dengan memberikan fisioterapi dada maupun suction jika masih banyak dahak yang menumpuk di saluran pernapasan atau paru-paru. Jika klien sulit bernapas, perawat menganjurkan klien untuk tidur dengan posisi tubuh bagian kepala-dada lebih tinggi daripada panggul-kaki (posisi semi fowler). Selain itu, perawat juga mengkaji perasaan klien. Jika klien mengalami kecemasan/ansietas, maka hal ini juga perlu diatasi perawat.

Contoh lainnya yaitu misalnya klien mengalami mual dan muntah. Dokter akan memberikan obat anti emetik untuk mengatasi masalah ini. Sedangkan asuhan keperawatan yang dilakukan perawat adalah mengatasi akibat dari mual muntah ini, seperti: memenuhi kebutuhan nutrisi untuk mengantikan nutrisi yang keluar saat muntah dan mencegah kurangnya nutrisi pada klien; memehuhi kebutuhan cairan (air, elektrolit) untuk menggantikan cairan yang keluar tubuh dan mencegah terjadinya dehidrasi. Perawat juga perlu mengkaji perasaan klien dan mengatasi jika ada masalah dengan psikologisnnya.

Untuk kedepannya (yang akan dituju), keperawatan tidak hanya berfokus pada pelayanan kesehatan (di rumah sakit, poliklinik, Puskesmas, dan penyedia pelayanan kesehatan lain) namun keperawatan yang berbasis komunitas (baik komunitas secara keseluruhan di suatu wilayah tertentu, agregat/kelompok usia tertentu, keluarga, maupun gerontik/lansia). Dengan sistem yang seperti ini (berbasis komunitas), perawat tidak hanya duduk di tempat pelayanan kesehatan menunggu datangnya klien atau merawat klien yang sudah ada di tempat pelayanan kesehatan, tetapi juga melakukan pengkajian ke masyarakat/komunitas (ke komunitas itu sendiri, agregat, keluarga, gerontik) untuk mengetahui masalah kesehatan yang sedang dialami, faktor risiko dan penyakit yang akan muncul akibat risiko tersebut, serta pendidikan kesehatan (seperti penyuluhan tentang DBD, Flu Burung, Hipertensi/darah tinggi, penyakit Gula/Diabetes Mellitus, dan lain-lain).

Pada sistem perawatan berbasis komunitas, perawat bekerjasama dengan berbagai pihak, seperti: tim kesehatan lain, kader kesehatan wilayah setempat (wilayah yang dikaji), pemerintahan setempat, SDM yang ada diwilayah setempat untuk diberdayakan kemampuannya (empowerment), dinas Kesehatan setempat, dinas Kebersihan dan Tata kota, dan lain-lain. Hal ini akan bermanfaat untuk pendeteksian jumlah penderita penyakit tertentu yang tidak memeriksakan kesehatannya ke pelayanan kesehatan, pendeteksian faktor risiko dan penyakit yang akan ditimbulkan, serta yang paling penting adalah menjadi salah satu solusi untuk mengatasi masalah kesehatan yang ada di Indonesia karena disini upaya promotif maupun preventif/pencegahan terhadap masalah kesehatan lebih optimal secara kuantitas dan waktu (karena lebih awal) daripada di sektor lain (klinik/penyedia pelayanan kesehatan). Harapannya, sistem berbasis komunitas ini mendapat persetujuan, dukungan serta kerjasama dari berbagai pihak dan dapat terlaksana di seluruh wilayah yang ada di Indonesia.

Ayo wujudkan masyarakat Indonesia sehat bersama Perawat!

Depok, May 15th, 2008
By_ Asri Nurjannah, Mahasiswa Profesi Keperawatan UI
Calon Perawat

13AUG
SEBUAH REFLEKSI: MUNGKINKAH MENJADI PERAWAT YANG BAIK?

Menjadi profesional ádalah dambaan setiap perawat. Tapi.., samakah perawat yang baik dengan yang profesional? Kalau tidak sama, dimanakah letak perbedaaanya? Sebagai perawat saya sering bertanya dalam hati, apakah saya telah menjalankan peran saya dengan baik? Baik menurut siapa? Saya?! Ahk itu terlalu subjektif dan naif sekali. Mungkinkan ada orang yang bisa menampilkan hal terbaik untuk semua, setiap saat, setiap tempat? Baik menurut teman sekerja, baik menurut mahasiswa, baik menurut pasien dan baik menurut profesi kesehatan lain, katakanlah dokter. Ahh, bahagía rasanya bila ada orang yang bisa menjelaskan hal tersebut untuk saya. Tapi, bila memang ada yang bisa menjelaskan, apakah kemudian saya bisa menjalankanya? Wah, mencari penjelasan saja sulit, apalagi menjalankanya!

Tahun 1997 adalah tahun awal saya praktek sebagai sarjana perawat. Saya merawat 6-8 pasien bersama oleh 1-2 orang perawat SPK. Satu kisah menarik diawal-awal perkerjaan saya adalah merawat pasien katakanlah Bapak Sero (samaran). Dia dirawat dengan serosis hepatis dengan perdarahan saluran cerna atas (varises esophagus?). Dokter memberikan instruksi untuk melakukan monitoring tanda vital tiap 4 jam, irigasi lambung tiap 6 jam dan puasa, disamping beberapa pemeriksaan dan obat. Saya mengerti betul alasan dokter memberikan instruksi tersebut. Tanda-tanda vital (TTV) seperti tekanan darah, nadi dan suhu serta pernafasan saya monitor betul, bahkan tiap 2 jam. Karena saat saya perhatikan kondisi pasien tidak stabil, NGT kadang keluar darah, kadang tidak. Bila terjadi perdarahan internal yang hebat, akan terdeksi dengan monitoring TTV yang baik. Tingkat kesadaran dan kognitif pasien juga fluktuatif. Mungkinkah itu karena level bilirubin yang tinggi? Atau hasil pencernaan darah akibat pecahnya varises di dalam saluran pencernaan yang menghasilkan sesuatu yang meracuni otak? Akh, rasanya walupun dokter tidak pernah mengintruksikan saya untuk monitoring tingkat kesadaran, tidak salahnya saya melakukan itu (ensepalopati hepatik?). Pasien tampak kurus, warna kulit agak kehijauan dan kering dengan perut sedikit membuncit. Oh ya, mungkin albumin juga telah rendah, ”Bisa asites juga nih pikirku.” Maka saya kembali ke ruang perawat untuk mengambil meteran dan mengukur lingkar perut Pak Sero. Bukankah hanya satu paket monitoring, sedikit tambahan beberapa detik akan sangat membantu analisa perkembangan kondisi pasien. Siapa tahu juga bermanfaat bagi dokter nantinya.

Jam 12 siang adalah saatnya mengukur tanda vital dan melakukan irigasi lambung. Tempat cuci tangan adalah tujuan pertama saya setelah melakukan persiapan troli untuk irigasi lambung ”Selamat siang Pak sero, bagaimana kondisi Bapak siang ini? Dengan mata sedikit terbuka dan kepala bergerak ke arah saya berdiri, ia menjawab dengan lirih ”Saya haus pak, tenggorokan saya kering.” Akh benar sekali, sejak masuk rumah sakit atau bahkan sejak dari rumah mungkin ia tidak minum dan makan, tapi karena status perdarahan lambungnya, dokter memuasakanya, apa yang harus saya lakukan agar tidak memperparah kondisi perdarahan lambung tapi sedikit menambah kenyamanan pasien ya? Akh, saya ingat, saya pernah membaca buku bahwa memberikan minum satu dua sendok, mengolesi bibir dengan madu dan menutup mulut dan hidung dengan kasa basah akan sangat membantu mengatasi perasaan haus dan tenggorokan kering pada pasien yang dipuasakan, namun tetap aman (untuk kasus ini). ”Bapak Sero, lambung Bapak masih terjadi perdarahan, Bapak masih harus puasa. Saya hanya akan berikan 2 sampai 3 sendok air saja ya Pak, untuk membasahi kerongkangan Bapak? Saya langung bergerak ke arah pegangan tempat tidur untuk mengatur posisi tidur pasien menjadi setengah duduk (Semi Fowler’s) dilanjutkan dengan memberikan minum satu sendok perlahan lahan hingga sendok ketiga selama 2 menit. Saya tetap berpikir bahwa kesadaran pada kondisi penyakit seperti ini tidak stabil, bila kesadaran menurun dan kemampuan menelan tidak baik, diberikan minum tidak dengan perlahan-lahan, tetes demi tetes, kan bisa aspirasi ujarku. Tanda vital saya ukur dengan baik dan seksama, saya catat dalam lembaran monitoring data pasien. Irigasi lambung saya mulai dengan memasukan air aqua waktu itu (Kalau ada, sebaiknya sih NaCl 09%) tanpa es. Karena menurut buku medical surgical dengan editor Lewis, kalau tidak salah baca, es akan membuat imaturitas sistem pembekuan darah pada area perdarahan dan malah dapat tidak mengoptimalkan pembekuan yang diharapkan. Saya masukan 50 cc dengan perlahan sesuai gaya grafitasi, tidak saya inject dengan spuit. Memang cara ini lama, tapi lebih aman untuk menghindari perdarahan baru akibat robekan pembuluh darah atau cedera mukosa yang sangat rawan akibat tingginya tekanan vena porta yang menyebabkan munculnya varises di sekitar saluran cerna dan rapuhnya mukosa akibat penurunan status nutrisi sistemik (hipo albuminemia yang sering terjadi pada pasien serosis) dan puasa. Beberapa saat saya kemudian setelah sekitar 100 cc air dimasukan, dengan saya tahan sedikit air masih di ujung NGT saya alirkan NGT kebawah. Dengan cara ini saya harapkan air di ujung NGT akan menciptakan tekanan negatif yang menarik udara dan air di ujung dalam NGT dan lambung sehingga air lebih mudah keluar tanpa di aspirasi (hee… ingat juga prinsip-prinsip hukum fisika SMA). Untuk mencari posisi NGT yang optimal, beberapa posisi pasien di rubah dengan perlahan, karena posisi NGT di dalam lambung sulit di perkirakan tanpa rontgent thoraks. Akhirnya, air masuk sekitar 450 cc dan keluar sekitar 400 cc juga dengan warna merah darah dan sedikit stosel. Akh, perdarahan masih aktif sekali.

Saya catat semua hasil yang di dapat dalam lembaran yang tersedia. Melihat kondisi kulit, imobilisasi dan stataus nutrisi, saya rasa skor resiko dekubitus-nya tinggi nih! Beberapa tetes ’minyak goreng’ saya oleskan sambil dipijat sebentar di punggung dan daerah tonjolan tulang pasien untuk mengurangi resiko iritasi akibat kulit yang kering dan penekanan yang lama, tidak lupa juga spresi tempat tidurnya dirapikan. Kemudian saya ubah posisi pasien, sedikit miring kearah yang berbeda dengan disokong beberapa bantal dan handuk pasien untuk mencegah dekubitus. Pada saat memiringkan pasien, saya katakan kepada Pak Sero, jangan mengedan, biarkan saya yang menggerakan tubuhnya, karena pengedanan dapat memicu perdarahan lambung yang baru. Penghalang tempat tidur saya pasang, dan kliningan saya letakan di dekat tangan pasien. Saya katakan ”Bila Pak Sero ingin sesuatu, bunyikan kliningan ya pak, nanti saya datang, tidak perlu teriak.” Karena, teriakan berarti pengedanan yang dapat membahayakan kondisi varises esophagus/gaster pasien saat itu.

Catatan perkembangan keperawatan saya buat, rencana spesifik untuk Bapak Sero saya tulis dalam lembaran keperawatan. Saya harap catatan ini akan dibaca oleh teman perawat saya dan dilaksanan oleh mereka dengan cara saya melakukanya, bukan dengan cara mereka. Karena saya tahu bahwa teman saya jarang yang suka membaca buku, jadi ilmu mereka adalah ilmu jaman dulu yang kadang sudah tidak update lagi. Akh, mencatat dengan singkat dan jelas instruksi keperawatan ternyata tidak mudah. Setengah jam lebih saya harus mencatat point point penting yang harus catat agar teman saya memahami apa yang saya maksud. Menulis mulai dari diagnosa keperawatan, tujuan dari tindakan dan rencana spesifik dari tindakan yang harus dilakukan untuk Bapak Sero adalah aktifitas pikir yang sangat melelahkan. Namun apa daya, dari siapa lagi teman perawat dan mahasiswa akan belajar kalau tidak ada yang memulai. Teman satu shift sudah pulang semua, perawat sore telah mulai bekerja. Inilah saatnya untuk menyampaikan rencana keperawatan Pak Sero agar dilaksanan oleh teman saya. Penjelasan itu memakan waktu seperempat jam lebih sedikit. Teman yang menerima penjelasan agak sedikit bingung, tapi terlihat antusias.

Saat itu jarang antar perawat menyampaikan progress report dan rencana keperawatan pasien dengan detail. Pasien lain saya jelaskan tidak terlalu mendetail, karena kondisinya relatif lebih baik dari Pak Sero, namun semuanya tercatat dengan jelas. Semoga kelebihan satu seperempat jam dari dinas saya dapat bermanfaat untuk pasien dan perawat lain serta dicatat sebagai ’infestasi’ untuk kehidupan kelak. Diruang ganti, saya bertanya di dalam hati, betulkah memang pasien harus dipuasakan? Sampai kapan? Apa keuntungan dan kelebihan bila dipuasakan? Akh.., nyari info dimana ya? Melihat fenomena diatas, apakah dokter happy dengan apa yang saya lakukan, apakah data yang saya berikan bermanfaat, bukankah nanti malah dianggap sok pintar? Bukankah perawat lain beranggapan, cara kerja gaya saya lambat, terlalu banyak berpikir dan mengurangi waktu istirahat mereka? Bahkan bisa saja saya dianggap pendatang baru yang sedang mencari muka? Tapi, perlukah saya mengeksplorasi perasaan atau ’prasangka’ mereka terhadap saya yang belum tentu benar. Bisakah mereka atau saya sendiri jujur mengoreksi hal-hal penting dari sisi profesi atau dari sisi humanisme yang perlu ditumbuhkan dari seorang perawat? Akh, kenapa aku terjebak dalam ’prasangka’ tidak produktif seperti ini, perasaan seperti ini nanti malah jadi hypersensitive dan kontra produktif. Saya tidak tahu apakah apa yang saya lakukan sudah dianggap baik oleh pasien, teman perawat dan dokter. Tapi…, saya hanya mencoba melakukan yang terbaik, apa yang saat itu saya anggap tepat. Opps.., tapi…, benarkah pikiran seperti itu, tidakkah penting mengeksplorasi suatu peristiwa dari sudut pandang yang ’berbeda’? Bukankah di dunia ini tidak ada sekedar hitam-putih? Ohh.., betapa naifnya saya, ternyata perbuatan baik itu belum tentu akan dipersepsikan ’baik’ oleh orang lain. Terus.., apakah kemudian saya harus mengekor? Akankah kita mengaminkan sesuatu yang tidak ada rasionalnya? Perlukah kita takut untuk berbuat yang lebih baik? Bukankah dunia keperawatan perlu perubahan, perubahan yang konstruktif? (bersambung…)

By_ Masfuri S.Kp MN (Salah satu staf pengajar di Fakultas Ilmu Keperawatan UI bagian Keperawatan Medikal Bedah/KMB)

13AUG
Dokter Pintar dan Perawat Baik : Sebuah Autokritik?

Tulisan ini bukan pembelaan perawat, ini hanya respon atas komentar pembaca pada situs ini dan blog saya (masfuri.wordpress.com), tapi ini hanya bangian kecil dari renungan saya sebagai perawat yang bekerja bersama dokter.

Pertama saya katakan bahwa terima kasih anda para dokter telah memberi masukan atas kinerja para rekan kami perawat, terutama yang bekerja bersama anda. Banyak dari mereka memeng membutuhkan up grade atas ilmunya, karena mereka bahkan hingga menjelang pension mungkin belum pernah mendapatkan pelatihan atau seminar. Dana dari atas mungkin ada, tetapi peruntukanya mungkin di ‘pelintir’ untuk kepentingan lain oleh oknum-oknum yang tidak mengerti betapa pentingnya perawat bagi sebuah tim kesehatan yang efektif untuk anak bangsa. Feedback anda sangat membantu saya untuk berkaca dan membuat mata saya berkaca-kaca karena sedih, betapa banyak rekan perawat saya belum bisa secara optimal bekerja.

Perawat telah mencoba memperbaiki kompetensinya dengan salah satu caranya adalah meningkatkan level pendidikan. Pendidikan D3 keperawatan hingga S3 diharapkan bisa menjadi partner untuk menyelesaikan masalah pasien yang semakin komplek dari sudut pandang yang seorang perawat. Selama ini, banyak sekali ketimpangan antara dokter dengan pendidikan minimal 6 tahun di tingkat universitas, sementara banyak dari kami yang lulus hanya SPK, kemudian D3 keperawatan. Sehingga wajar bahwa mereka secara pola pikir dan analisis berbeda atau bahkan ketinggalan dengan dokter. Sayangnya, pertumbuhan jumlah perawat yang baik dan pintar tidak secepat membalikan telapak tangan. Dengan tingkat analisa dan berpikir kritis yang setara, namun dari sudut pandang yang berbeda, diharapkan akan terjadi harmoni kerja yang lebih baik dalam menentukan tindakan untuk pasien. Seperti dinegara Eropa dan Australia dimana saya pernah belajar disana, banyak sekali keputusan untuk pasien adalah hasil diskusi bersama antara perawat, dokter dan profesi lain seperti farmasi dan fisioterapi. Kami sangat berterima kasih bila demi kepentingan pasien, anda memotivasi rekan kami perawat untuk belajar lebih baik tentang pekerjaan dan tanggung jawab mereka.

Pengalaman diskusi untuk menentukan tindakan/pengobatan pasien selama saya praktek dengan PPDS termasuk chief-nya sering sekali terjadi. Dokter yang akan visite pasien memanggil saya untuk menjelaskan perkembangan pasien selama dia tidak ditempat. Saya jelaskan perkembangan pasienya dengan mendetail (bukan hanya tekanan darah, nadi dan suhu saja seperti banyak perawat lain melakukan). Kemudian dokter menyampaikan rencananya ke saya, sebelum ditulis ia meminta pendapat kepada saya apakah ada yang tidak setuju, perlu ditambah atau di kurangi? Kemudian saya memberi pendapat sesuai dengan apa yang saya lihat, analisa sesuai dengan patofisiologi dan pengetahuan tentang obat dan pengalaman merawat pasien. Kadang saya langsung setuju, namun tidak jarang saya meminta dokter untuk menambah atau mengurangi atau mengganti atau menunda program untuk pasien dan itu diterima oleh dia. Bila pun tidak diterima, dokter yang baik ini akan menjelaskan alasan dari sisi profesinya. Setelah itu, program harian pasien di buat secara tertulis untuk dilaksanakan. Bahkan saat ini, di rumah sakit yang telah maju kerjasaman timnya atau di unit tertentu, pemulangan pasien adalah hasil diskusi bersama antar profesi, sebut saja dokter, perawat dan atau pisioterapi.

Disamping dokter pinter dan baik serta berfokus pada kepentingan pasien, ada juga dokter yang hanya merasa pinter tetapi sejujurnya tidak sepintar yang dia rasakan. Dokter yang merasa bisa, bukan dokter yang bisa merasa kelebihan dan kekuranganya. Banyak pengalaman yang saya rasakan dengan tipe dokter seperti ini. Misalnya, pada suatu hari terjadi henti nafas/jantung pada seorang pasien, disitu terdapat banyak dokter muda, dokter sedang belajar spesialis dan mahasiswa perawat. Semua yang saya lihat pada saat mendengar ada teman saya minta bantuan untuk membantu RJP hanya bingung. Saya langsung mengambil langkah penyelamatan untuk menolong pasien tersebut. Ini adalah kali pertama saya akan menolong RJP setelah saya mendapatkan pelatihan BLS, tidak tangung tanggung, langsung menjadi leader. Selanjutnya saya bergerak untuk mulai melakukan RJP sambil menginstruksikan teman perawat lain untuk mengambil monitor EKG, oksigen, suction, set intubasi, pasang infus dll. Selama itu, mereka hanya menonton, mengelilingi pasien, tidak terlihat intuisinya untuk mulai menolong tim yang sedang pontang-panting mencoba menyelamatkan kehidupan. Hanya satu orang dokter wanita yang terlihat mengerti apa yang harus mereka lakukan. Dokter tersebut bersama teman saya mencoba memberikan obat-obat via infus bersama teman saya (atrophin, epineprin dll). Ketika set intubasi datang, saya langsung menentukan ukuran yang tepat untuk pasien, mencoba mengetes cuf-nya baik apa tidak dan meminta salah satu dokter PPDS untuk melakukan intubasi. Ketika ia terlihat ragu, saya coba menjelaskan caranya sebisa saya (saya merasa bisa melakukanya, tetapi saya tetap menghormati dokter yang ada di sebelah saya). Ketika selang bisa masuk, saya lihat dokter yang mengalungkan stetoskop di lehernya tidak berusaha membantu dokter yang sedang intubasi untuk mementukan letak selang. Saya secara instink langsung mengambil stetoskop yang dijadikan ’dasi’ bersama jas dokter tersebut. Secepatnya saya auskultasi simetrisitas bunyi nafas, dengan sekali instruksi tarik dan masukan sedikit lagi kepada dokter yang intubasi, posisi terbaik bisa di capai saat itu dan kemudian di fiksasi. Setelah beres dengan urusan airway, saya minta dokter-dokter muda untuk mulai belajar melakukan kompresi jantung luar dengan arahan saya, juga bagaimana memegang ambu bag yang benar, karena saya lihat perawat disitu sudah kelelahan. Alkhamdulillah, akhirnya nyawa pasien tersebut dengan izin-Nya dapat diselamatkan hari itu.

Kisah lain adalah saat saya berada di rumah sakit rujukan propinsi, kebetulan saya diminta mejadi trainer di rumah sakit tersebut. Pada saat saya lihat seorang pasien yang sedang sesak dengan oksigen nasal kanul terpasang, posisi tidur datar, saya melihat ada sesuatu yang aneh pada keadaan tersebut. Saya mengambil stetoskop dan saya dengarkan suara paru. Ehm, suara mengi (wheezeeng). Langsung saya tanya pasienya, apakah punya penyakit asthma? Ia mengangguk. Sebagai pembimbing saya panggil perawat disitu, saya minta mereka mendengarkan suara yang ada di stetoskop dan meminta pendapat mereka tentang apa yang ia dengar dan apa artinya? Mereka teringat dengan rekaman suara CD yang saya perdengarkan sewaktu dikelas. Dengan kurang yakin perawat tersebut megatakan ”mengi, asthma ya pak?”, saya katakan ”betul!”. Dan kemudian saya ajarkan kepada perawat tersebut cara menyampaikan hasil observasinya dengan baik kepada dokter yang merawat agar dia tidak tersinggung dan perawat itu tidak dianggap sok tahu. Dokter yang sedang asih ngobrol datang tergopoh-gopoh ke pasien sambil mengatakan ”Akh masa, tadi saya auskultasi tidak terdengar apa-apa kok, masa iya asthma?” Saya pindak ke tempat lain untuk observasi perawat lain. Setengah jam kemudian saya balik ke tempat pasien ’asthma’ tadi. Ternyata sudah tidak ada, saya tanyakan kepada perawat yang merawat pasien tadi, ia katakan sudah pulang karena sesaknya sudah hilang, dengan ekspresi bahagia. Pada matanya tergambar kepuasan dan kebahagiaan, pasien yang sudah 2 jam tidak terdiagnosa akhirnya pulang. Perawat tadi sepertinya ingin mengatakan kepada saya ”Yes!, sekarang aku sudah bisa asukultasi paru.”

Masih banyak cerita-cerita lain, betapa pasien diuntungkan bila perawatnya pinter. Kenapa ada sebagian dokter tidak bahagia dengan perawat yang pinter? Ingat, kami bukan saingan anda, bersainglah dengan sesama profesinya, kalau itu baik bagi anda. Kami tentu juga bukan musuh anda, musuh kami adalah gizi buruk, TBC, diare, cross infection dan lain lain. Untuk itu kami pasti tidak akan pernah merasa anda para dokter menjadi musuh yang bisa lebih baik jika hanya dijelek-jelakan. Pernahkan terbayangkan betapa banyak pasien dikorbankan akibat kelalaian sebuah tim kesehatan yang tidak optimal dalam bekerja? Bukankah tujuan dari ilmu kedokteran, kedokteran apapun dan dari manapun itu adalah untuk kebaikan umat manusia?

Banyak sekali kisah perawat tidak pinter, tidak sedikit pula kisah dokter yang hanya sok pinter saja, apalagi dengan banyaknya fakultas kedokteran swasta. Akh, kenapa kita ribut urusan tersebut? Mari kita perbaiki apa yang bisa kita perbaiki, setuju? Siapa yang berbuat baik, sesungguhnya Alloh dan Rosul-Nya akan menjadi saksi atas amalan tersebut, itulah kata ustadz yang membuat saya berusaha tidak tengok kanan dan kiri dalam berbuat yang terbaik untuk sesama.

Tulisan ini dibuat untuk merespon beberapa tanggapan tentang beberapa tulisan saya di blog ini. Bila mau jujur, pada saat saya bekerja di ruang gawat darurat, berapa banyak pengalaman saya menerima rujukan dengan diagnosa kurang tepat, tindakan/pengobatan yang kurang memberi manfaat dari para dokter yang merujuk. Anggapan itu tentunya saya katakan setelah mendapat pembenaran dari rekan mereka sesama dokter. Banyak kisah juga di ruang operasi, bagaimana mereka mencari celah agar ”selamat” dari ”miss or near miss” atas tindakan yang dilakukan mereka. Dilain pihak, saat mereka kuliah, berapa harga yang harus ditanggung masyarakat akibat kesalahan atau percobaan para dokter/calon dokter. Meminjam istilah judul film Holiwood, bisa dikatakan bahwa “I know what you did last summer” Terlepas dari itu semua, yang saya yakini, mereka telah berbuat dengan kemampuan terbaik mereka, jika masih belum benar, saya berprasangka bahwa lain waktu mereka bisa lebih baik. Marilah kekurangan diri kita dan orang lain diperbaiki, buka dicemooh.

Lihatlah di luar tempurung, wow, ternyata bulan itu sangat indah!

Salam dari Netherland

Masfuri S.Kp MN (Salah satu staf pengajar di Fakultas Ilmu Keperawatan UI bagian Keperawatan Medikal Bedah/KMB)

Sumber_ www.perawatonline.com

13AUG
Menjadi Perawat, Pilihan atau “Daripada Enggak…?”

Selama lebih dari tiga tahun saya menjadi mahasiswa keperawatan di salah satu universitas negeri di Pulau Jawa, sudah tidak terhitung berapa kali dialog seperti ini terjadi:

Somebody : Hai Don, apa kabar? Kuliah sekarang? ambil jurusan apa?
Doni : hai juga, Alhamdulillah baik, iya sekarang kuliah, di keperawatan
Somebody : hah?Keperawatan?Kok bisa?? Tanggung banget, kok gak Kedokteran sekalian?
Doni : Tanggung?? Maksud Loe??

Dialog seperti ini kerap datang manakala saya bertemu dengan teman-teman lama sewaktu SMP maupun teman-teman SMA yang baru mengetahui pilihan jurusan pada tes SPMB waktu itu.

Bukan tanpa alasan mereka bertanya demikian, dan bukan maksud hati pula saya menyombongkan diri karena sebagian besar teman-teman lama saya beranggapan bahwa seorang Doni lebih “pantas” menjadi seorang dokter kelak ketimbang menjadi perawat, sebuah pemikiran yang dapat kita maklumi manakala sebuah profesi dianggap lebih rendah ataupun lebih tinggi dibandingkan dengan profesi lain.

Akan tetapi saya tidak tinggal diam ketika mendapati pemikiran-pemikiran seperti itu walaupun pada awalnya memang saya merasa tidak PD ketika harus kuliah di Keperawatan, bukan karena saya merasa tidak pantas ada di jalur ini namun lebih kearah perbedaan perbandingan gender yang sangat signifikan, bayangkan saya merupakan satu dari empat mahasiswa laki-laki dari total 100 mahasiswa keperawatan di angkatan saya. Namun dengan seiring berjalannya waktu saya dapat beradaptasi dengan keadaan ini dan selalu berusaha menjelaskan dan memberikan pengertian yang sebenarnya kepada setiap teman lama saya mengenai apa dan siapa perawat itu sebenarnya.

Kembali ke permasalahan tentang anggapan masyarakat luas terhadap sebuah profesi, khususnya perawat. Banyak orang beranggapan bahwa dokter lebih pintar dari perawat, sejujurnya saya sempat sependapat dengan anggapan tersebut karena selama saya pernah mengunjungi rumah sakit (pada pelayanan kelas 3), saya selalu mendaptkan fakta bahwa perawat bertindak selalu atas perintah dokter dan wajar bila akhirnya masyarakat berpendapat bahwa dokter lebih pintar daripada perawat karena hanya orang yang lebih pintar/berkuasa-lah yang dapat memerintah orang lain.

Namun ternyata profesi perawat tidaklah sebodoh atau selemah yang selama ini dipersepsikan oleh masyarakat luas. Kita memang tidak bisa memungkiri bahwa profesi dokter telah lebih dulu berkembang di negara ini ketimbang perawat, dapat kita lihat bagaimana sekolah tinggi kedokteran pertama sudah ada dari jaman Belanda yang kita kenal dengan STOVIA, dan barulah setelah jumlah dokter dirasa kurang memadai akhirnya pelatihan-pelatihan bagi pribumi untuk menjadi perawat dibuka oleh pemerintah Belanda pada saat itu, dan perawat masih didesain sebagai pembantu dokter. Fakta sejarah ini menggambarkan bagaimana keterlambatan perkembangan profesi perawat di Indonesia bila dibandingkan dengan dokter.

Terlambat bukan berarti tidak bisa mengejar… dengan kemajuan teknologi informasi seperti sekarang ini sebetulnya merupakan peluang yang harus dimanfaatkan oleh kaum perawat untuk mengejar ketertinggalannya dengan profesi lain yang pada hakikatnya merupakan rekan kerja yang setara dan saling melengkapi. Adapun faktor lain yang juga memberatkan dunia keperawatan untuk maju adalah persepsi masyarakat Indonesia tentang perawat itu sendiri, masih banyak masyarakat yang berpendapat bahwa “bila kamu pintar dan ingin sukses di bidang kesehatan, maka jadilah dokter. Namun bila kecerdasanmu pas-pasan tapi tetap ingin berkiprah di bidang kesehatan, maka jadilah perawat, lebih gampang kok kuliahnya” dan apabila ada orang yang dianggap sedikit lebih pintar di dunia keperawatan akan dibilang “ih tanggung banget, kenapa gak jadi dokter aja sekalian” . Pendapat-pendapat seperti inilah yang akhirnya membuat dunia keperawatan secara relatif masih kurang terisi oleh manusia-manusia Indonesia yang pintar dan unggul, karena keengganan dari orang tua yang memiliki anak cerdas untuk menyekolahkan anaknya di bidang keperawatan.

Jadi semua kembali ke individu yang sudah menjadi perawat maupun yang masih menjadi calon perawat, karena hanya kita lah yang bisa menunjukkan wajah keperawatan yang sebenarnya dan seharusnya kepada khalayak ramai sebagai salah satu profesi kesehatan yang mempunyai peran cukup besar untuk bersama-sama menyehatkan Indonesia kita tercinta ini.

By_ Ferdias Ramadoni, Mahasiswa Reguler Keperawatan UI

12AUG
Ada Apa Dengan Perawat? Kenapa Harus Dokter?

Sebenarnya note ini adalah sebuah renungan tentang pengalaman saya selama ini, selama jadi mahasiswa keperawatan. Mungkin juga hal-hal yang saya alami juga dialami oleh teman2 lain yang senasib sepenanggungan. Pertama kali jadi mahasiswa, pertanyaan pertama yang akan dilontarkan klo kenalan sama orang adalah
Orang : kuliah apa kerja mbak?
Saya : kuliah
Orang : dimana mbak?
Saya : di keperawatan (dengan tampang apa adanya dan senyum malu-malu serta rasa canggung)
Orang : ooh, akper ya?
Saya : bukan , saya S1 di UI (dengan perasaan rada pede dikit)
Orang : ooh, sarjana. Brarti nanti jadi dokter dong??
Saya : (he ?? *$%@#*$%@#)
(dengan bingung dan mulai berpikir, ni orang pola pikirnya gimana sih, ada2 aja, kuliah di keperawatan kog jadi dokter. Dimana2 juga kuliah keperawatan ya nanti jadi perawat, kuliah di sastra pasti jadi ahli sastra, kuliah di teknik, ya nanti jadi tukang insinyur, kuliah di ekonomi ya jadi ahli ekonomi). Nggak. Klo kuliah di keperawatan nanti saya jadi perawat (akhirnya terucap juga setelah bisa kembali pada realita)
Orang : kenapa ga jadi dokter aja skalian??
Saya : (diam,,,,,, berpikir mau jawab apa) saya maunya jadi perawat tuh, gimana dong??
Orang : iya sih, tapi kan sayang, skalian aja jadi dokter
Saya : (mulai berpikir, nih orang maksa banget sih, udah dibilang mau jadi perawat, masih juga nawarin suruh jadi dokter. Suka-suka gw dong. Lagian juga udah dibilang klo kuliah di keperawatan ya jadi perawat). Saya maunya jadi perawat mbak (sambil pasrah dan mangkel juga)

Percakapan2 diatas juga mungkin sering banget dialami sama temen2 yang laen. Awalnya saya juga speechless pas orang bilang “knapa ga jadi dokter aja skalian?”. Memangnya ada apa sih sama dokter?? Emang ada yang salah ya klo jadi perawat??. Tapi saya terinspirasi oleh salah satu teman yang juga bernasib sama, saat menghadapi pertanyaan serupa, dia menjawab: “tapi saya maunya jadi perawat”. Saya pikir, boleh juga ni jawaban, toh pada akhirnya kan emang semua juga kembali pada selera saya, karna saya yg jalanin semuanya (sama halnya sperti nawarin es krim ke anak kecil yang minta permen, anak itu Cuma bilang “saya mau permen”, mau ditawarin apa juga kan dia maunya permen, so susah di ganggu gugat). Akhirnya saya pun mengutip kata2nya itu saat berhadapan lagi dengan pertanyaan diatas, dan akhirnya lawan bicara saya pun jadi ikutan speechless. Klo mau ikutin naluri, pastinya pertanyaan kaya begitu akan bikin emosi jiwa, dan bikin kita berpikir: ni orang ikut campur urusan gw aja sih, suka2 gw mau ngapain, toh dia juga ga dirugiin.

Pengalaman lain yang baru saja dialami temen saya saat ke studio foto deket kampus untuk bikin pas foto ijazah (kebetulan saya ada di TKP). Fotografernya nanya ke temen saya
Fotografer : kuliah dimana mbak?
Temen : di keperawatan mas
Fotografer : ooh, fakultas MIPA ya mbak
Saya : (kaget dan speechless, dalam hati mikir, ni orang pola pikirnya gimana sih?? Sempet mikir juga, ni orang pura-pura, apa mang gaptek beneran sih?? Kog bilang MIPA??)
Temen : bukan mas, di fakultas keperawatan
Fotografer : iya,,, masuk fakultas MIPA kan??
Temen : *$%@#!*$%@#!

Wuahh,,,, percakapan yang bener2 bikin emosi jiwa. Padahal udah pede banget saat ditanya kuliah dimana, tapi kog ujungnya ga sesuai prediksi. Biasanya kan respon orang2 klo tau ada yg kuliah di keperawatan adalah “ooh, ada ya?”; “S1 ato D3?”; “knapa ga jadi dokter aja skalian?”. Alhasil saking keselnya, pose temen saya saat difoto jadi terpengaruh karna mood yang jelek (entah karna mang udah jatahnya aja jadi fotonya kurang “sesuai” pesanan dia atau karna efek percakapan).

Pertanyaan lain yang bener2 bikin saya speechless soal jurusan kuliah adalah “apakah anda menyesal kuliah di keperawatan?”. Soal menyesal atau tidak, mungkin saya sendiri juga tidak begitu tau apa yang saya rasakan. Tapi saya punya pemikiran, kalo udah kecebur, bikin basah aja skalian, ga usah tanggung-tanggung. Saat teman2 lain merasa denial kuliah di keperawatan ( walopun saya pun merasa denial juga), saya berpikir hal ini wajar aja dialami (apalagi saya juga ga tau masa depan apa yang menanti saya saat jadi perawat) tapi karena saya berpikir soal kecebur dan basah sekalian, makanya saya ceburkan diri saya sepenuhnya. Waktu itu saya berpikir sebodo amat yang lain ngrasa denial, tapi gw ga mau terus2an meratapi dan menyesali semua, toh udah tanggung, bikin basah aja skalian, toh kalo udah ga tahan pasti bakal ngrasa pengen mundur juga. Dan akhirnya,,, sampai juga saya di tahap akhir kuliah akademik di keperawatan. Walopun fase denial sering kambuh2an, tapi toh akhirnya saya bisa sampai di fase ini, yang mungkin saat 4 tahun yang lalu belum terpikirkan di benak saya apakah bisa sampai di tahap ini atau tidak. Akhirnya, menjawab pertanyaan menyesal atau tidak kuliah di keperawatan, saya memilih untuk menjawab: tidak boleh menyesal, karna apapun yang sudah saya alami, pasti akan ada manfaatnya untuk saya, karena pastinya tidak ada hal yang sia-sia, kalau kita bisa menemukan apa manfaat dan hikmah dibalik semuanya.

Memang sih, keperawatan di Indonesia belum sekeren dan semaju negara2 maju lainnya. Kadang suka gerah juga klo ada orang yang nimpalin “ perawat aja ada yang sarjana ya??”. Memang salah ya klo perawat di Indonesia mencoba untuk lebih maju, atau paling tidak berupaya menyamai brand perawat di Negara lain. Klo ada yang tanya “apa beda perawat S1 dengan D3?”, mungkin saya juga ga tau apa bedanya, karna saya belum bisa membuktikan perbedaan itu, toh saya juga masih belajar jadi perawat. Perbedaan antara perawat D3 dengan S1, Cuma bisa dibuktikan oleh kemampuan saya dan teman2 lain setelah nanti menjadi perawat lulusan S1 dan mulai bekerja. Karena bukti yang paling nyata adalah tindakan kita.

karena itu, semoga nantinya saya dan teman2 lainnya benar2 bisa membuktikan bahwa perawat S1 itu punya perbedaan dengan perawat D3. Dan nantinya, ga ada lagi orang yang nanya ‘kenapa ga jadi dokter skalian?”. Karena memang ga ada yang salah dengan perawat, lantas mengapa harus jadi dokter??

By_ Reta Dwi Lestari, Mahasiswa Profesi Reguler Keperawatan UI