Minggu, 28 September 2014

“Dalam Sebuah Perjuangan yang dibutuhkan adalah Konsistensi bukan Eksistensi”



Entah kenapa tiba-tiba kalimat ini terlintas di benak saya. Saya melihat kalimat ini relevan dengan perjuangan yang dilakukan insan keperawatan dalam memperjuangkan RUU keperawatan. Saya bersyukur akhirnya kenal dengan pejuang-pejuang tangguh yang tak pernah lelah mengawal RUU Keperawatan sampai sejauh ini. Ada Prof Yani, pak Harif, pak Budi, pak Iwan, bu Imel dll yang notabene tak muda lagi tapi masih punya semangat juang yang tinggi. Ada mba Weni, bang Jay, Nahla, Eko, Fadly, Febri, Fakhrul dan masih banyak lagi yang tersebar dari barat sampe timur Indonesia di barisan pemuda/mahasiswa. Dan saya akhirnya banyak belajar dan diberi pelajaran selama berinteraksi dengan orang-orang hebat tersebut.

Dan pada akhirnya seperti tak kuasa melawan waktu, banyak yang saya kira mulai berjatuhan. Entah karena jenuh, bosan, jengkel, atau marah karena lamban nya proses untuk di sahkan RUU keperawatan menjadi UU keperawatan atau ada hal lain saya tak tau pasti, intinya pada akhirnya bagai daun banyak yang berguguran di tengah jalan. Tapi tidak bagi orang-orang yang saya sebut diatas.

Dalam beberapa minggu kebelakang dan puncak nya hari ini, saya terharu. Terharu karena pada akhirnya semangat-semangat insan keperawatan mulai terlihat. Seketika berita disahkan nya UU keperawatan membuat dunia keperawatan gempar, walaupun harus kita koreksi bersama bahwa proses disahkan nya RUU keperawatan masih lama, karena hari ini adalah sidang paripurna di sahkan nya RUU keperawatan menjadi RUU inisiatif DPR (bahasa media, bahasa penuh kebohongan).

Saya masih ingat dulu ketika komentar-komentar pedas dan kadang pesimis sempat terlontar dari beberapa orang di grup-grup keperawatan soal RUU keperawatan, namun perlahan tapi pasti suara-suara sumbang itu akhirnya hilang ditelan bumi. Dan saya tak tau apakah suara-suara itu masih ada atau tidak jika melihatprogress RUU keperawatan yang makin hari makin membaik, mudah-mudahan tidak lagi ya teman-teman J

Nah, kenapa kalimat pembuka saya adalah “dalam sebuah perjuangan yang dibutuhkan konsistensi bukan eksistensi” karena saya belajar dari orang-orang yang saya sebut diatas makna perjuangan. Saya kira kita semua sepakat bahwa orang-orang itu adalah orang-orang yang konsisten untuk memperjuangkan RUU keperawatan ini. Jikalau hanya mencari ketenaran lewat eksistensi saya kira itu akan mudah didapat tapi akhirnya tujuan yang ingin dicapai tak akan tercapai jika tak dibarengi dengan konsistensi. Dan akhirnya kita juga bakalan tau bahwa orang-orang yang akhirnya gugur di tengah jalan hanya ingin eksis dan akhirnya lelah sendiri dengan ke-eksis-an itu. Dan akhirnya juga hilang di tengah jalan.

Tiba-tiba muncul pertanyaan, kenapa perjuangan butuh konsistensi? Karena dalam perjuangan pastilah banyak hal yang menjadi tantangan dan ketika kita konsisten untuk terus berjuang maka akhirnya tujuan yang ingin dicapai akan tercapai dan inilah yang selama ini dicontohkan oleh orang-orang yang konsisten untuk memperjuangkan RUU keperawatan (tentunya orang yang saya kenal). Dan pagi buta hari ini saya menerima sms dari seseorang (namanya tak perlu disebut lah ya, karena ini tipe konsisten yang tak perlu eksistensi) yang isinya kurang lebih begini “ terimakasih sudah mau berjuang bersama saudaraku. Terimakasih atas perjuangan yang tak pernah lelahnya. Akhirnya bisa sedikit menangis bahagia, yang hanya mereka-mereka” (saya kira sms nya terputus), tapi kita bisa menilai bagaimana sms ini adalah bagian tulus dari seseorang yang banyak mengorbankan waktu dan fisik nya untuk berjuang demi RUU keperawatan, terima kasih atas perjuangan yang tak pernah lelahnya, bagian ini menunjukkan bahwa mereka-meraka ini adalah pejuang-pejuang yang konsisten di jalan ini, lihat juga bagaimana perjuangan itu erat sekali kaitannya dengan konsisten, dan waktu memang akan menjawab semua nya.

Lagi-lagi soal kepedulian juga akan terlihat seiring waktu berjalan, tetep konsisten kan kepedulian nya? Atau hanya ingin eksis lewat kepedulian yang sementara? Saya kira kita punya keinginan yang sama untuk ini, yaitu kepedulian yang konsisten sampai nanti RUU keperawatan berubah menjadi UU keperawatan.

Dan menyoal tentang kepedulian, beberapa hari yang lalu saya tuliskan kata-kata ini di tumblr pribadi saya “semangat itu bagaikan diisi(kembali) ketika melihat banyak orang-orang yang mulai peduli | walau terkadang itu pura-pura peduli atau peduli-peduli-an” dan mudah-mudahan kalimat ini akhirnya menjadi pelecut semangat untuk kita semua untuk tetap peduli nasib RUU keperawatan kedepannya, dan peduli ini dalam artian yang benar-benar peduli dan bukan peduli-pedulian.

Dan terkahir, saya mendoakan agar perjuangan ini akan indah pada waktunya. Siapa yang menanam dia yang akan menuai, siapa yang berjuang pastilah dia yang akan menikmati indahnya keringat dan makna perjuangan itu.

Sekian, wasalam
Banda Atjeh, 13 Februari 2012
Arif Zailani Siregar/Mahasiswa Keperawatan Unsyiah

NB: lagi-lagi saya galau di tengah malam nan sunyi tapi damai ini. Salam takzim dan penuh hormat untuk ibunda kami prof. Achir Yani yang semangatnya tak pernah luntur, di umur yang tak lagi muda tapi semangat tetap membara, dan betapa malu nya jikalau saya tak bisa mengikuti jejak perjuangan mu. Salam hangat persaudaran untuk saudara-saudara seperjuangan tercinta, masih teringat tatkala peluh membasahi sekujur tubuh, masih teringat bagaimana nikmatnya tidur hanya di sebuah muslaha beralaskan sajadah (ceileh ini mendramatisir sekali), Mba weni yang mengajari jalan sesat perjuangan ini, bg Jay, Nahla, Fadly, Eko, Febry. Dan terima kasih juga kepada teman-teman yang lain, wahyu yang menemani sampai Bener Meriah, Teddy, Yanto, Agus dan geng yang lain, bg angriawan, bg agung, chandra, ma’wah iqbal dan juga teman-teman yang berjuang di jalan ini. Salam Juang dan tetap kawal RUUK sampai disahkan.


TERJAJAH DI NEGARA SENDIRI
(Mengetuk Hati Nurani Mahasiswa Indonesia)

Sebelum memulai cerita izinkan saya bertanya kepada pembaca yang terhormat :

“pernah ke Rumah Sakit?? Klo butuh apa-apa siapa tenaga medis pertama yang anda panggil??” (kalo jawabannya PERAWAT mohon shack head ^^). “ pernah punya pengalaman, lagi sakit-sakitnya ato lagi butuh banget sama sesuatu tapi malah PERAWAT yang datang malah g peduli ato datang dengan muka masam nan jutek sambil marah-marah?? (saya minta maaf klo begitu). Tapi itu bukan semata-mata kesalahan senior saya. Salahkan pemerintah (dulu) karena g mau peduli sama senior-senior saya itu, dan salahkan diri kalian sendiri karena ikut-ikutan pemerintah g mau peduli sama PERAWAT dan ikut-ikutan lupa sama RAKYAT INDONESIA yang sudah terlupakan oleh pemerintah. Tulisan saya ini untuk mengangkat sebuah kenyataan dan realita yang dilupakan oleh bangsa ini karena pemerintah dan elit politik yang terlalu sibuk saling tuding “siapa curi uang siapa”, “siapa yang layak dan g layak”, “siapa yg bisa dinominasikan jadi Drama King dan Drama Queen terbaik”. Kalian lupa bahwa ada sekelompok masyarakat, bagian dari bangsa ini yang selama 20 tahun lebih meminta kejelasan nasibnya, meminta diberikan penghidupan yang layak akan apa yang sudah ia lakukan untuk negeri ini, menjamin negeri ini tetap sehat, menjamin masyarakat Indonesia di daerah paling dalam, terbelakang, di garis perbatasan wilayah negara, dan di daerah yang menurut kalian g banget deh, tetap tersentuh oleh sarana kesehatan, mereka adalah PERAWAT INDONESIA.

Kesehatan merupakan salah satu hal yang seharusnya diprioritaskan oleh negara ini. Tapi apa yang terjadi adalah rakyat kecil makin sulit untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, ketika kebanyakan rumah sakit keren dibangun dan menerapkan kebijakan “ayo yg bayar banyak yg di kasi pelayanan VVIP, yang pake askes dan jamkesmas, ntar ya, belakangan aja” ato bahkan penggunaan jamkesmas yang seharusnya kepada mereka yang g mampu ikut-ikutan di korupsi. Hal ini hanya sebagian dari realitas di dunia kesehatan di negara ini. Bahkan pemerintah cenderung melupakan memberikan pelayanan kesehatan kepada beberapa elemen masyarakatnya. Puskesmas sebagai tempat pertolongan pertama yang seharusnya bisa dijangkau oleh semua lapisan masyarakat kecil tidak tersedia di semua tempat, bahkan puskesmas normalnya hanya beroperasi sampai jam 1 siang, trus klo ada yang tabrakan ato tiba-tiba terserang asma ato jantung di atas jam 1 siang gmna?? (masa mw langsung gali kubur??). Hal ini adalah sesuatu yang PERAWAT KOMUNITAS tidak pernah ingin terjadi. Asal kalian tau PERAWAT KOMUNITAS inilah yang termasuk pahlawan tak dikenal. Normalnya perawat di komunitas bekerja hanya 8 jam sehari, tapi karena mempertimbangkan hal tersebut diatas, beberapa senior saya bersedia tinggal di Puskesmas 24 jam, menginap di Puskesmas memastikan bahwa kalo ada masyarakat yang sakit bisa langsung di tangani. Tapi bagaimana pemerintah mengapresiasi pengorbanan mereka?? Dengan memberikan insentif tambahan sebesar Rp. 15.000,- (masuk akal g tuh?? ) atau bahkan mereka, PERAWAT KOMUNITAS yang harus mendaki gunung lewat di lembah, menyebrangi sungai dan berjalan kaki sampai berjam-jam, untuk mencapai masyarakat di pedalaman yang terisolasi karena tidak adanya akses jalan. Mereka melakukan check up kesehatan, kadang-kadang pemeriksaan lingkungan, membawa beberapa obat-obatan buat warganya. Mereka dianggap pahlawan bagi masyarakat setempat, tapi bagi pemerintah penghargaan yang diberikan adalah buih, penjara (lihat kasus PERAWAT Misran). Masyarakat Indonesia yang lainnya, g jauh beda ma pemerintahnya, sibuk melecehkan calon profesi saya dengan menyumbang kepada bioskop dan sutradara yang menghadirkan film SUSTER NGESOT dan SUSTER KERAMAS. Perjuangan dan perawatan yang diberikan kepada negara ini dibayar kurang lebih seperti itu oleh pemerintah dan masyarakatnya sendiri.

Masyarakat ngeluh, “kok susternya jutek banget yach??” “kok banyak banget sekolah keperawatan, kaya buka kios dagang aja”, “loh ini kok luka saya g dirawat??” Ini buah dari sebuah ketidakpedulian negara, jangan salahkan PERAWAT ketika mereka terkesan jutek, orang sakit itu rese dan manjanya minta ampun belum lagi klo udah marah-marah, mau di rawat dengan baik-baik, udah nekan-nekan emosi neh, dimarahin nrimo-nrimo aja,pas gajian eh yang keluar g sepadan, PERAWAT mikir anak istri mau di kasi makan apa??? Saya tidak membela mereka dan bilang itu benar, di kampus saya diajarkan untuk profesional ketika berhadapan dengan pasien, tapi ini sangat manusiawi, hakikat orang kerja karena mereka ada tanggung jawab dan kewajiban yang harus mereka penuhi, perut harus selalu bisa diisi. Belum lagi masyarakat mempertanyakan kapabilitas seorang perawat, sanggup g dia masang infus, ngerti g konsep steril. Hal ini terjadi karena tidak adanya penyeragaman kurikulum pendidikan perawat di Indonesia saat ini. Belum lagi ketakutan perawat komunitas untuk memberikan intervensi, niat baik malah berbuah jelek, masuk penjara, ini karena g ada aturan yang jelas mana yang bisa kami lakukan dan mana yang g bisa. Ini belum saya ceritain nasib perawat Indonesia di luar negeri yang g dipeduliin sama Pemerintah. Salah satu senior saya malah pernah bilang “saya ambil resiko saja dek, kasian kalo dia dibiarkan, kamu tahu kamu bisa nolong tapi cmn jadi penonton atas penderitaan pasien, hati nurani saya tidak bisa membiarkan itu dek, dipenjara dipenjara lah” coba itu bayangkan, ato salah satu senior saya yang lain yang mengabdi di salah satu pulau pedalaman di Ambon, yang transportasi cuman tersedia 2 bulan sekali, rela meninggalkan anak istrinya untuk menjadi PERAWAT di Pulau tersebut karena panggilan hati nurani, dia bilang “lihat pasien kembali sehat dan tersenyum itu sudah sangat cukup buat saya dek”. Tapi setelah 2 tahun mengabdi senior saya ini akhirnya menyerah juga karena keluarganya memang mesti dan kudu wajib makan, apalagi tinggal jauh begitu dengan keluarganya, g nahan lah.

Jawaban dari problematika profesi PERAWAT saat ini adalah Rancangan Undang-Undang Keperawatan (RUUK) yang sudah kami perjuangkan selama kurang lebih 20 tahun. Tapi yang kami dapatkan dari pemerintah adalah janji-janji manis, ketika berdialog tidak jarang yang kami dapat malah penghinaan akan profesi PERAWAT itu sendiri. Kami sudah berkali-kali turun ke jalan tapi tidak pernah didengarkan. Hal ini lambat laun saya sadari karena kami, PERAWAT dan MAHASISWA KEPERAWATAN yang turun ke jalan berjuang untuk rakyat Indonesia ini, berjuang sendiri, kami tidak melihat dukungan dari elemen masyarakat lain di negara ini, kami tidak melihat adanya dukungan dari civitas akademika yang lain. Entah karena ketidaktahuan atau karena ketidakpedulian. Tapi ini yang akan saya perjelas kawan.

Jika selama ini kalian tidak mendukung pergerakan kami karena ketidaktahuan, maka penguraian saya diatas tampaknya sudah sangat jelas menggambarkan bagaimana pentingnya kami memiliki payung hukum dan kejelasan nasib. Masih banyak senior saya diluar sana, para PERAWAT KOMUNITAS di barisan terdepan pemberi pelayanan kesehatan yang memilih untuk tinggal dipedalaman, mengorbankan keluarga dan tidak memandang materi untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat Indonesia yang terlupakan. Dan ketahuilah bahwa mereka melayani masyarakat Indonesia yang sangat tidak mampu untuk mengejar pelayanan kesehatan, boro-boro beli obat, bwt makan saja mereka susah. Saya pernah melihat dan menangani sendiri pasien penyakit kulit yang kulit tangan dan bokongnya udah busuk karena dibiarkan saja, alasan pembiarannya klasik “dek kita g ada uang, bawa kartu askes juga g diladeni” atau balita yang menderita gizi buruk nyaris kwashiorkor karena g pernah minum susu dari lahirnya dan tinggal di rumah yang bwt saya gudang mungkin masih lebih baik. Mereka ini adalah kaum yang terlupakan oleh pemerintah dan juga sebagian dari kalian (karena diajak KKN di tempat pedalaman aja kalian g tahan) tapi tidak akan pernah terlupakan oleh kami, PERAWAT, karena tugas utama kami adalah MERAWAT, memastikan bahwa tindakan pencegahan ada disana. RUUK akan menjamin kebutuhan perawat dan juga masyarakat.

Dan jika selama ini kalian tidak mendukung karena ketidakpedulian, maka jangan salahkan perawat kalau mereka juga ikut-ikutan g peduli sama kalian. Pernah dengar perawat mogok?? Beberapa media pernah menyiarkan aksi mogok perawat di beberapa daerah di Indonesia. Coba kalian bayangkan, di RS kadang-kadang 1 perawat bisa megang sampai 3-4 pasien, 1 bangsal biasanya ada sampai 20-30 pasien dengan jumlah perawat kurang lebih 4-5 orang, kalo mereka mogok kerja bareng 10 menit aja kebayang g apa yang terjadi sama pasien itu?? Apalagi kalo perawat yang mogok adalah perawat ruang UGD, bisa kebayang g ramainya kuburan ntar??. Kalian bilang masih ada dokter, saya kasi tahu ya, pelayanan kesehatan itu suatu system, 1 g ada berarti sistemnya pincang g bisa stabil, system yang pincang sama aja system itu gagal. Jadi sebaiknya system pelayanan kesehatan itu tetap stabil. Sejauh ini kami mahasiswa selalu berusaha memompa semangat dan keberanian kakak-kakak perawat untuk memperjuangkan haknya, termasuk memunculkan opsi untuk melakukan mogok missal, tapi sejauh ini jawaban yang kami dapat “dek, klo masih ada jalan untuk menggolkn RUUK, jangan maksa kk mogok dulu, kasihan pasiennya”, tapi kalo pasien dan rakyat Indonesia masih tetap g peduli ato pura-pura g peduli maka kami, mahasiswa keperawatan dan perawat, akan lebih g peduli lagi, sampai saat ini kami masih berpikir untuk memunculkan opsi mogok kerja tersebut, karena kadang-kadang Indonesia mang perlu dikasi shock terapi dulu baru nyadar, ini bukan ancaman, atau peringatan yang saya buat. Ini cuman sesuatu yang mengikuti prinsip “what u give is what u get” kalian cuek, saya juga bisa cuek”.

Tanggal 10 Januari 2013 akan menjadi hari bersejarah bagi kaum PERAWAT apakah perjuangan 20 tahun kami akan disambut baik oleh pemerintah atau kah kami akan kembali diberi janji manis atau bahkan dilupakan. Mahasiswa sebagai social control, kalian menjadi aktivis mahasiswa karena peduli pada masyarakat, saya mengetuk hati nurani setiap mahasiswa yang membaca tulisan saya ini, untuk ikut dalam barisan perjuangan kami untuk menuntut pengesahan RUU Keperawatan. Suatu kebodohan jika kalian beranggapan bahwa RUU Keperawatan hanya akan menguntungkan perawatnya saja. Tugas perawat merawat manusia, jaminan akan hak dan perlindungan pada kami juga akan berdampak positif pada system pelayanan yang kami berikan. Jangan biarkan lagi-lagi kami harus berjuang sendiri, perjuangan kami atas nama RAKYAT INDONESIA yang TERTINDAS seharusnya kalian mahasiswa juga berdiri disana berjuang bersama kami. Bangsa yang kuat adalah bangsa yang sehat. Pemerintah boleh lupa akan rakyatnya, karena masih ada kita yang akan selalu mengingatkan mereka, tapi MAHASISWA sebaiknya tidak pernah lupa akan rakyat yang tertindas, karena siapa yang akan menolong mereka jika bukan kita. Saya juga meminta dukungan kalian atas nama senior-senior saya para PERAWAT KOMUNITAS yang saat ini tersebar diseluruh pelosok tanah air, saya meminta kalian untuk membantu pengesahan RUU Keperawatan agar mereka tetap bisa bekerja sebagaimana mestinya, memberikan pelayanan kesehatan tanpa harus merasa ketakutan dan bisa mendapatkan penghidupan yang layak. Saya mengetuk hati nurani setiap MAHASISWA INDONESIA yang MENGAKU masih PEDULI AKAN RAKYAT INDONESIA, MANA KARAKTERMU, WAHAI MAHASISWA INDONESIA.

SAHKAN RUUK UNTUK PERAWAT, UNTUK RAKYAT, UNTUK BANGSA INDONESIA

Framita Rahman (+685 2990 16073)
Kord. Wilayah 6 Ikatan Lembaga Mahasiswa Ilmu Keperawatan Indonesia (ILMIKI) 2011-2013.
Mahasiswa Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin


Judul Buku Saya: “The Chronicles of My Life Chapter 9: Thank You Debate :P

tulisan ini dibuat dengan hati saya yang hancur berkeping-keping (sedikit di dramatisir) karena melihat hasil tabulasi IVED ITB dan ditemani lagu (yg sesungguhnya saya tidak tahu arti pastinya) but trust me lagunya tentang orang jatuh cinta kok, ini lagu dari playlist terbaru saya ^^

Niatnya memang ived tahun ini akan jadi lomba debate nasional terakhir saya. Meskipun kecewa (dengan diri sendiri sejujurnya) dengan hasil terakhir, tapi sangat berterima kasih kepada debate. Karena sudah ngajarin saya banyak hal di luar dari disiplin ilmu saya, ngasih tahu kalo dunia itu g cmn hitam putih, tapi mejikuhibiniu, ngasih tahu kalo ekonomi itu g cmn lo pasang, gw beli, tapi BEYOND on that, bilang k gw klo USA itu MORE THEN that, mereka itu yg terkuat dan china mulai ikut2an kuat, bilang k gw kalo si Hitler itu keren (sumpah dah…), ngajarin k gw klo sekarang kelamin bisa di bolak balik, ukuran cantik bisa ditentukan sendiri, ello mw jadi apa juga terserah lo, sekarang lo gandeng tangan gw besok lo bisa gandeng tangan si Budi klo lo mw (Budi g bener2 eksis kok ^^) masyrakat udh belajar bwt nrima kok, ngajarin k gw klo war itu g seburuk n sekejam yg lo bayangkan (really???),kasi tw k gw kalo dunia dan seluruh isinya ini bisa aja lo putar balikkan klo lo mw but more important ngasih tw k gw kalo bahasa Inggris gw sebenarnya “sumpah jelek banget” hahaha^^

Gw diberkati dengan teammate yang sangat baik, thank u bwt Vitri yang become the first and The Only one teammate cewe gw (ini di luar keperawatan yach) kaka aca, and si Lale Fikar, meskipun selama tourney si Lale itu menyebalkan tapi dia baik aslinya, cmn memang lalenya itu g ketulungan, bwt kk aca yg sudah membuka mata saya dan ngasih keyakinan ke saya klo “gw g mw jadi perawat yg biasa2 aja gitu” (apa coba???). Bwt mas bro gw Mas kumis Erwin dan si Jablay Maman, mereka ini sodara yg gw dapetin di tengah kompetisi. Salah satu hal yang paling gw sukuri dari ikut debate ini, mereka buka mata gw dah tentang loyalty, tentang hardwork, dan tentang g mudah menyerah dan ngenal diri lo lbh baik (poin di atas g mereka sadari, krn aslinya mereka itu cuek seh ^^). Trus teman gw, coach n teammate gw dan sekarang g mw bicara apa2 sama gw gra2 perkara sms (coba itu bayangin??) Akbar, niatannya selalu baik, tapi saya selalu merasa ini orang lebih punya masalah dengan komunikasi dripada saya, krn saya g pernah ngerti mksudnya mw A dan mw B itu apa, sampe pada akhir cerita saya baru ngerti dan dia cmn bakalan bilang “itu mi saya bilang”, tapi 1 hal yg juga penting pernah seteam sama mas Gembul yang 1 ini. Bwt The Olympian Karji, He is incredible teammate, mungkin gw bakalan g pernah dapat teammate kaya dia lagi, yg ngasih tamparan keras k gw dengan berusaha bilang “kk kerja keras itu yg kaya gini, bukan cmn asik nulis di tembok 400%, ngegalau di twitter n fb” hahahaha…. Karir debatenya masih panjang semoga dia tetap konsisten bwt kerja keras dan ttap ingat semangat Olympian nya. Terakhir teammate gw se Om Kumis Bama, NO COMMENT ya, 1 hal aja He looks different when he in the battle of debate, or when he really think about something, that’s it.

Lastly, calon teammate saya di FT Ichsan (semoga saya tidak salah tulis nama) semoga kita bisa dapat sesuai dengan target dan saya bisa jadiin dia sebagai asset Heds nantinya, kepada coach saya yang lain, Kak Biondi, Mas Rifan, Amel, dan Emir, bwt ade2 hebat saya di Heds Aumsoy, Agor, Ayu, Taqim, Winda, Tilla, Ulla, Fahmi, dan smwnya yg tidak bisa saya sebutkan satu2 (krn saya malas dan krn sy hanya hafal muka kalian adiks tp g hafal nama, mianhe ^^) thank u for make my day in debate be bitter sweeter bite (artinya???).

Ini saat dimana saya harus menutup hasrat untuk tampil di depan dan bicara, untuk mengikuti “acara” skala nasional dan untuk berdebate. Setidaknya statistik akhirnya naik.

THANK YOU DEBATE FOR EVERYTHING
Cheers^^Up…!!!


RUU KEPERAWATAN (isu lama yang selalu hangat)

Akhir-akhir ini kita sering di recoki oleh sebuah isu lama bertajuk RUU Keperawatan. Mulai dari seruan aksi, proses pencerdasan sampai dengan hal-hal lain yang berhubungan dengan RUU Keperawatan itu sendiri.

Masih segar dalam ingatan bagaimana mahasiswa se Indonesia berkumpul dan turun ke jalan dalam memperjuangkan RUU Keperawatan tersebut, dan juga baru-baru ini perawat di bawah naungan PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia) bersama mahasiswa keperawatan juga turun ke jalan karena mandek nya proses legislasi (perundang-undangan) yang ada di DPR.

Perjuangan pengesahan RUU Keperawatan sudah semakin dekat, semakin dekat untuk di sah kan ketika kita terus berkomitmen untuk bersama-sama mengawal prosel legislasi yang ada di DPR saat ini. Namun pada kenyataan hari ini belum banyak dari kita, baik senior-senior perawat maupun mahasiswa keperawatan yang tetap komitmen untuk mengawal gerakan ini. Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam memperjuangkan RUU Keperawatan ini sangat diperlukan perhatian khusus dan kerja keras dari semua elemen keperawatan, mulai dari praktisi, akademisi sampai dengan mahasiswa.

Pentingnya RUU Keperawatan bagi kita

Seperti kata pepatah bilang “tak kenal maka tak sayang”, setiap pergerakan pasti harus dimulai dengan pengetahuan apasih yang menjadi tujuan kita untuk bergerak. Salah satu permasalahan pergerakan RUUK ini adalah masih banyak nya elemen keperawatan yang belum paham penting nya RUUK itu untuk kita. Saya coba berfikir sederhana, ketika RUUK ada maka 1 hal yang paling kita rasakan adalah perlindungan hukum (karena Negara kita Negara hukum jadi harus menjunjung tinggi hukum) bagi perawat dalam melaksanakan tindakan keperawatan. Kita tentu tak mau lagi kasus seperti pak Misran dari Kalimantan Timur yang sempat dipenjara karena memberikan resep kepada masyarakat yang sebenarnya bukan wewenang kita, namun yang menjadi catatan penting adalah tak ada tenaga medis yang berwenang memberikan resep di tempai ia (pak misran) bekerja. Yang menjadi persoalan adalah menurut hukum yang berlaku di Indonesia, hal seperti itu sangat dilarang dan tidak diperbolehkan sehingga pak Misran harus mendekam di penjara selama 3 bulan. Dan saya yakin pak Misran bukan satu-satu nya perawat yang bernasib naas seperti itu.

Selama kuliah kita selalu dijejali dengan diagnosa-diagnosa keperawatan,asuhan-asuhan keperawatan, praktikum yang harus sesuai dengan text book namun kejadian di lapangan sangat bertolak belakang dengan apa yang kita pelajari semasa kuliah. Sistem yang mengatur semua nya. Kita (perawat) masih disibukkan dengan tugas menginjeksi pasien, memasang infus dan kateter yang sejatinya secara dasar keilmuan adalah wewenang dan tanggung jawab temen-temen dokter. Nah untuk asuhan keperawatan sendiri? Pernahkah kita mengerjakan dengan baik dan benar? Mulai dari tahap pengkajian hingga tahap evaluasi yang sesuai dengan prosedur. Saya kira jarang yang bisa mengerjakan askep dengan baik dan sesuai dengan prosuder, namun justru seharusnya yang menjadi andalan kita adalah asuhan keperawatan tersebut, nah di RUUK itu semua bakalan diatur. Pernahkah kita bermimpi nantinya keperawatan menjadi profesi yang diandalkan dengan konsep caring nya dan dengan asuhan keperawatan nya? Kita sudah terlalu lelah mengerjakan pekerjaan sebagai perawat tanpa wewenang yang jelas dan tegas, kita butuh UU (undang-undang)sendiri untuk mengatur semua nya.

RUU Keperawatan milik siapa

Pertanyaan klasik yang sering kita dengar, RUUK sebenarnya milik siapa sih. Saya kira ini milik kita semua, milik elemen keperawatan maupun masyarakat sebagai subjek penerima pelayanan keperawatan yang mudah-mudahan semakin membaik dengan adanya UU Keperawatan ini. Dalam hal perjuangan pengesahan dan percepatan RUU Keperawatan maka sangat dituntut kontibusi kita semua, mulai dari PPNI sebagai wadah pemersatu perawat di Indonesia, praktisi-praktisi keperawatan yang berada di rumah sakit, akademisi yang ada di kampus dan juga mahasiswa keperawatan. Namun hari ini kekuatan terbesar kita (dengan jumlah tenaga kesehatan dan mahasiswa yang paling banyak) seperti beruang yang lagi hibernasi. Namun saya yakin ketika kita semua tersadar dan peduli akan gerakan ini maka akhirnya semua akan melihat kita sebagai satu kekuatan besar. Mohon maaf, saya melihat sejauh ini mahasiswa menjadi garda terdepan dalam perjuangan RUUK ini, dan saya mau karena RUUK adalah milik kita semua maka sudah seharusnya ibu/bapak, kakak/abang perawat juga turut dalam barisan. Walaupun tak bisa dipungkiri bahwa beberapa dari perawat yang lain juga tetap bergerak, namun itu masih sebahagian kecil. Sudah seharusnya kita semua peduli dan kita semua bergerak. Dan sudah seharusnya kita juga harus sama-sama berteriak lantang “SAHKAN RUU KEPERAWATAN”

NB: sebuah catatan singkat yang mudah-mudahan bisa menggugah perasaan kita semua, untuk nantinya bisa sama-sama berjuang. Sudah berulang kali kita ditipu oleh anggota dewan yang terhormat de gedung senayan sana. Tanggal 10 Januari akan ada sidang paripurna di Baleg untuk penentuan RUUK ke depan nya, apakah lanjut ke proses legislasi berikutnya atau tidak. Siapkan diri untuk turun aksi ketika anggota dewan mangkir dari tugasnya, dan ketika mereka menunjukkan gelagat yang kurang mendukung percepatan pengesahan RUUK.

Arif Zailani Siregar/Kadept Hual Eksternal Himakep Unsyiah

“Pengalaman, suka duka masuk dunia keperawatan”


Di sini saya akan menceritakan pertama kali masuk dalam dunia kesehatan, khususnya Keperawatan.

Sebelumnya saya ingin memperkenalkan diri. Nama saya fitriani yang di lahirkan menjadi anak pertama dari 2 bersaudara, lahir pada hari senin, 20 februari 1995. Di lahirkan bukan pada lingkungan keluarga yang berlatar belakang kesehatan, hanya anak dari seorang pekerja dan seorang Ibu rumah tangga. Sederhana saja tentunya kehidupan kami, berkecukupan lah!

Sebenarnya saya merupakan lulusan dari SMA dengan pilihan jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial. Karena pada awalnya tidak ada niat sama sekali untuk menempuh jalur kesehatan pada saat kuliah.

Seperti teman-teman yang lain tentu saja saya ingin melanjutkan kuliah paralel dengan ijazah SMA saya, namun kedua orang tua saya tidak mengizinkannya Mereka menawarkan saya untuk memilih program study dalam bidang kesehatan.

Sebenarnya saya di bebaskan ingin mengambil jurusan apa saja asalkan yang berhubungan dengan bidang kesehatan. Awalnya jurusan Ilmu Kedokteran di tawarkan kepada saya, saya bingung! “bukannya tidak bisa ya lulusan IPS masuk ke jurusan Ilmu kedokteran itu?? Mereka semua kan wajib dari jurusan IPA!” cetus saya dalam hati. Benar saja setelah survey dengan keluarga ke beberapa universitas milik negeri (karena waktu itu mengusahakan masuk negeri dulu) semuanya mewajibkan calon mahasiswa kedokteran dari lulusan IPA!!

Namun kedua orang tua saya tidak menyerah, mereka menawarkan kembali kepada saya ingin masuk ke jurusan apa?? Bidan di tawarkan. Namun entah kenapa saya tidak terlalu tertarik akan jurusan ini, “kenapa?” orang tua saya bingung. Saya juga tidak tahu, mungkin memang saya tidak memiliki ketertarikan dengan jurusan Kebidanan!

Sebenarnya hal mencari-cari jurusan dan perkuliahan ini dilakukan pada saat saya masih menduduki bangku kelas 3 SMA semester ganjil. Pada saat liburan lebaran Idul Fitri saya beserta keluarga saya memutuskan untuk pulang ke kampung halaman. Di sana saya bertemu dengan kakak sepupu laki-laki saya yang sedang menjalani kuliah semester 3 di salah satu Sekolah Tinggi Ilmu Keperawatan di daerah tersebut. Memang dia dari lulusan IPA sehingga aku tak heran jika dia mengambil bidang kesehatan. Namun, saat itu dia bercerita sebenarnya saat sebelum ujian dulu dia belum memiliki persiapan masuk universitas atau perkuliahan mana, berbeda sekali dengan saya yang saat ini telah sibuk mencari-cari kemana akan melanjutkan kuliah saya.

Kakak sepupu saya ini adalah mahasiswa dari program study Ilmu Keperawatan. Sebenarnya tidak ada niat juga dia masuk ke prodi ini, jurusan awal yang di ambil nya adalah perguruan. Ya, seorang guru. Namun katanya setelah menjalani kuliah nya sebagai mahasiswa Keperawatan dia mendapatkan banyak pengalaman serta hal-hal baru yang belum dia tahu. Dia bercerita seakan-akan mengajak masuk kedalam ceritanya, mulai dari praktek pertama saling suntik dengan teman-temannya hingga menjadi suka relawan saat terjadi gunung meletus di daerah Jogjakarta. Saya seperti ter-sugesti akan cerita yang di bawakan oleh kakak sepupu saya, ternyata pekerjaannya hampir mirip dengan kedokteran. Kedua orang tua saya memperhatikan kami yang sedang saling bercerita lalu menghampiri kami. “bagaimana? Mau tidak kuliah Keperawatan seperti mas mu ini??” mereka menawarkan. Saya bingung antara ingin tapi juga sedikit ragu karena sebuah alasan. Saya akan menjadi seorang perawat dan akan merawatnya, sementara saya sendiri masih takut bertemu bahkan di suntik dengan jarum suntik. Keberanian itu akan hadir jika sudah terbiasa, lama-lama juga akan hilang kok! Nasehat mereka kepada saya yang masih bingung. Baiklah kenapa tidak di jalani saja dulu.

Liburan berakhir, kami kembali kerumah dan saya kembali sekolah. Harus serius untuk menempuh ujian nanti. Pada saat itu saya sedikit melupakan hal itu, ingin melanjutkan ke jurusan apa? Saya saat ini lebih fokus dalam ujian-ujian yang akan saya hadapi nanti. Tanpa saya ketahui kedua orang tua saya telah melakukan survey ke berbagai universitas dan menanyakan banyak hal tentang program study Ilmu Keperawatan. Lagi-lagi hal yang sama terjadi seperti saat survey kemarin, universitas-universitas negeri lebih menerima siswa dari lulusan Ilmu Pengetahuan Alam. Namun, mereka akhirnya mencoba mencari universitas-universitas serta sekolah tinggi kesehatan dari swasta. Ada sebagian yang menerima lulusan IPS namun tentu saja ada yang hanya menerima lulusan IPA.

Tanpa saya ketahui, kedua orang tua saya telah mendaftarkan diri saya ke universitas terdekat yang memiliki salah satu program study Ilmu Keperawatan Mereka baru mengatakannya setelah saya menyelesaikan ujian, saat itu mereka hanya bilang kalau minggu depan saya harus melakukan tes tertulis di universitas tersebut. Tanpa persiapan apa-apa saya mengikuti ujian tes tertulis dengan cukup lancar, namun cukup banyak soal sehingga saya sedikit kaget waktu pertama di bagikan soal itu. Lulus tes tertulis pada urutan ke-53 dari 100 orang menurut saya ini sungguh aneh, karena tidak ada persiapan sama sekali saat itu.

Saat saya di sekolah saya bertemu dengan kakak kelas saya yang lulus setahun lebih dulu di bandingkan saya. Dia meneruskan kuliah ke program study ilmu Keperawatan Pas sekali menurut saya, saya menanyakan banyak hal kepadanya dan meminta brosur kepadanya lalu saya berikan kepada kedua orang tua saya. Mereka bilang boleh saja di coba, tapi saya harus melanjutkan tes fisik yang akan saya jalani di universitas yang kemarin. Sebelum melakukan tes fisik saya di harapkan untuk melakukan tes Rontgen. Hasil tesnya, keesokannya saya bawa ke universitas tersebut dan saya beserta berpuluh-puluh anak yang melakukan tes pada hari itu menjalani satu demi satu tes. Mulai dari tes mata, telinga, pemeriksaan tanda-tanda vital, dan banyak lagi. Setelah selesai, pengumuman lulus atau tidaknya akan di umumkan minggu depan. Ternyata banyak juga tes yang di lakukan fikir saya.

Setelah seminggu pengumuman pun di sebarkan, namun yang membuat saya bingung adalah saya tidak di terima tidak pula di tolak! Saya di tangguhkan, dalam pengumuman ini hanya 5 orang yang diterima dan 10 orang yang di tolak sementara yang lainnya di tangguhkan. Sedikit rasa kecewa sebenarnya, namun saya ingat akan tawaran kakak kelas saya. Akhirnya pada hari senin tanggal 30 april saya dan bapak saya memutuskan untuk mengunjungi universitas tersebut. Setelah di jelaskan ternyata saya dan bapak saya baru mengetahui bahwa hari ini adalah hari terakhir pendaftaran gelombang pertama, besok sudah masuk gelombang kedua. Akhirnya bapak saya mendaftarkan saya dan saya langsung melakukan tes, ternyata berbeda dengan tes yang kemarin saya lakukan. Namun karena tidak ada persiapan apa-apa nilai yang langsung saya dapat hari itu juga lumayan kecil. Tapi tetap saya diterima menjadi mahasiswa kampus tersebut. Universitas Esa Unggul.

Terima kasih kakak sepupu saya yang banyak memberikan motivasi hingga saat ini masih setia membantu serta memberikan saran dan kritiknya hingga saat ini. Saya akan berusaha menjadi seperti kakak, perawat yang pandai dan professional.

Sumber_ http://fitrianifian225.wordpress.com

Perawat Punya Cerita


Saya Dan Dunia Keperawatan
Posted on November 18, 2010

Tidak pernah terbersit dalam benak saya untuk kuliah di Fakultas Keperawatan UNPAD. Cita-cita saya sejak duduk di bangku SMP adalah kuliah di jurusan akuntansi karena ingin bekerja di bidang perbankan seperti kedua orangtua saya. Namun takdir berkata lain, saat akan menjalani UN SMA ayah berkata pada saya “kalau sudah IPA kuliah di IPA lagi dong, biar disiplin ilmu”. Oleh karena perkataan ayah tersebut setiap mengikuti ujian masuk Universitas saya selalu memilih keperawatan sebagai pilihan kedua karena pilihan pertama tetap akuntansi. Saat hendak mengikuti SNMPTN ayah menyarankan saya mengambil IPA saja, padahal saya niatnya mengambil IPC agar dapat memilih akuntansi. Namun saya pikir ayah benar, saya harus disiplin ilmu. Maka pilihan pertama di SNMPTN adalah farmasi ITB dan pilihan kedua adalah keperawatan UNPAD. Baca lebih lanjut →

Pengalaman Mahasiswa Indonesia Di Jepang.




Fakultas Keperawatan UNPAD pada Agustus 2010 mengirim 2 mahasiswanya menjalani program pertukaran pelajar ke Jepang. Yusshy Kurnia (angkatan 2006) dan An Nisa Rushtika Kersana (angkatan 2009) adalah dua orang teman saya yang sekarang sedang menempuh pendidikan di Jepang. Saya sangat tertarik untuk mengetahui sistem pembelajaran di negeri sakura tersebut. Kemudian mereka berbagi pengalamannya di sana walaupun baru 3 bulan mereka berada di negeri matahari terbit. Baca lebih lanjut →

Pengalaman Kerja Perawat Di Luar Negeri

Kisah 1

Ustzh. Hj. Wiwi Mardiah, AmKeb. SKp. Mkes
Cianjur, 30 April 1969

Pendidikan : Akademi Keperawatan Depkes Bandung 1994 Lulus Sarjana Keperawatan Unpad,1998 Lulus Program Master Ilmu Kedokteran Dasar / Pathobiologi Unpad Bandung, 2005

Pekerjaan : 1990-1991: Staf RS Harapan Bunda Kodya Batam
1994 – 1995 : Stap Pengajar di SPK Budi Luhur Cimahi Bandung
1988-1999 : Stap Pengajar di Akper Bidara Mukti Bandung
2007-2008 : King Fahd Hospital
1999 – sekarang : Staf pengajar FIK UNPAD

King Fahd Hospital

Pada tahun 2007, saya membimbing mahasiswa di Madinah. Selain membimbing tentu saya pun bekerja. Tepatnya di King Fahd Hospital, sekitar 15 menit dari Masjidil Haram.

Menurut saya saat bekerja di sana melihat visi dan misi yang berorientasi pada perawat global sangat bagus, kita akan melihat berbagai negara yang mengaplikasikan praktek-praktek keperawatan. Pengalaman saya melihat para perawat Indonesia di sana ternyata dari segi skill sangat mampu bersaing dengan perawat dari negara lain. Walaupun pasalnya negara lain seperti Filiphina itu lebih bagus dan maju tapi pada kenyataannya Indonesia tidak kalah dengan Filiphina. Yang menjadi kendala hanya bahasa saja, tapi setelah beradaptasi 3 bulan, paling lama 4 bulan perawat kita sudah bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja tidak hanya beradaptasi dengan bahasa tapi juga beradaptasi dengan budaya.

Kesan yang paling menyenangkan di sana adalah penghargaan, penghargaan terhadap profesi perawat dan hak-hak perawat baik itu dari atasan maupun dari masyarakatnya. Saya punya teman, beliau seorang perawat wanita asal Indonesia juga. Beliau tidak pernah menyentuh pasien laki-laki lalu beliau utarakan itu pada atasannya dan ternyata sangat di respon baik. Kemudian atasannya menempatkan beliau di ruangan khusus wanita. Berarti hak-hak perawat itu sangat dihargai bukan? Selain itu profesi perawat di sana setara dengan profesi kesehatan lainnya karena memang jobdesknya jelas walaupun tidak secara eksplisit, tidak tertulis tetapi sudah dijalankan dengan sangat baik.

Pengalaman saya yang tidak mengesankan adalah mendapatkan pasien yang cerewet-cerewet, yang meminta perhatian lebih pada perawat padahal tenaga perawatnya kurang. Walaupun pasien itu harus dilayani dengan baik tapi jika ada pasien yang bertindak tidak wajar pada perawat, perawat bisa menuntut karena dilindungi oleh undang-undang keperawatan. Ada cerita dari mahasiswi saya, beliau mempunyai teman sesama perawat yang mendapatkan tindakan tidak manusiawi yaitu ditarik pakaiannya hingga robek padahal tidak melakukan kesalahan apa-apa hanya terjadi kesalahpahaman saja. Kemudian beliau menuntut keluarga pasien tersebut secara hukum sampai pengadilan memutuskan keluarga pasien tersebut membayar uang ganti rugi sekitar 25 juta jika dirupiahkan. Selain dari segi salary bedanya menjadi perawat di negara lain dibanding menjadi perawat di negara kita adalah penghargaan.




Kisah 2

Sri Listriani Saputra

Majalengka, 6 Februari

Lulusan AKPER Bhakti Kencana Bandung sekarang lanjut di Fkep UNPAD
Hobi : masak
FB : Maganda Chi

Asser Central hospital and Al-Birk General Hospital

Pada tahun 2008 melalui PT AMRI FOUNDANTION yang bertempat di Bekasi, saya mengikuti pelatihan bahasa inggris umum dan praktek keperawatan. Setelah pelatihan saya mengikuti tes bahasa inggris langsung oleh orang Saudi. Alhamdulillah saya lulus tes, kemudian tinggal menunggu proses pembuatan paspor dan visa. Setelah itu saya berangkat ke Saudi Arabia.

Setibanya di sana perasaan saya bercampur aduk, aneh, takut, dan ingin sekali menangis karena saya tidak mengerti sedikit pun bahasa arab. Untungnya ada teman yang sudah berpengalaman kerja di sini dan penempatan kerjanya pun bareng saya jadi tidak terlalu khawatir. Pertama kali tanda tangan kontrak, saya ditawari bekerja di Al-Birk General Hospital yang letaknya jauh dari pusat kota. Sebelumnya saya ditempatkan dahulu di Asser Central Hospital, rumah sakit yang sangat canggih, makan seperti di restaurant dan tidur seperti di apartemen tapi kerjanya sangat berat karena jumlah pasien yang sangat banyak.

Tidak lama saya kemudian di pindahkan ke Al-Birk General Hospital, lokasinya jauh dari pusat kota tepatnya di depan Laut Merah. Buat saya tempat ini mengasikkan walaupun tidak bebas main ke pantai karena kata orang-orang sana kalau perempuan jalan-jalan sendiri itu pamali jadi harus selalu pergi bersama dengan teman dan dikawal supir. Al-Birk General Hospital lebih kecil dari Asser Central Hospital, jika di Indonesia bisa dibilang Rumas Sakit Daerah. Saya mendapatkan berbagai fasilitas seperti makan dan apartemen dan gaji pun naik karena letaknya yang jauh dari pusat kota. Gaji awal dari Indonesia 3000 SR tapi alhamdulillah setelah di Saudi terus naik sesuai penempatan area kerja. Di sana ada special area seperti emergency, OR, DR, dan ICU yang gajinya bisa naik sampai 50%. Saat pertama tiba di sana juga saya mendapatkan uang welcome sebesar 50% dari gaji. Jika dirupiahkan gaji di sana antara 10 juta sampai 18 juta, kalau di Indonesia tidak ada gaji perawat sebesar itu.

Saat awal-awal saya tidak mengerti bahasa arab sehingga sering sekali dimarahi oleh atasan tapi karena saya tekad ingin bisa alhamdulillah dalam kurun waktu satu bulan saya sudah bisa berkomuikasi dengan bahasa arab. Saya di sana sebagai perawat penanggung jawab di OPD alias poliklinik, kerjanya tidak begitu berat tapi tanggung jawabnya besar karena memegang 12 poli, paling pusing kalau sudah membuat sensus bulanan.

Hal yang paling menyenangkan adalah fasilitas haji dan umroh gratis. Alhamdulillah saya pun sudah haji. Di sana saya juga mendapatkan banyak teman dengan karakteristik yang berbeda-beda, sampai sekarang saya masih menjalani komunikasi dengan teman-teman dari Filiphina, India, Mesir, dan lain-lain pokoknya dari berbagai negara.

Hal yang paling membuat saya sedih saat di sana adalah ketika saya jalan-jalan saya ingat dengan keluarga, ingin rasanya bisa jalan-jalan bersama mereka. Paling tidak senang kalau sudah dimarahi pasien karena pasien di sana kalau sudah marah menakutkan. Sekarang saya sudah kembali ke tanah air dengan membawa segudang ilmu dan pengalaman berharga.





Keperawatan Dalam IT

Perkembangan teknologi informasi sudah mulai menyentuh dunia keperawatan. Kebutuhan layanan kesehatan termasuk pelayanan keperawatan yang cepat, efisien dan efektif merupakan tuntutan masyarakat modern saat ini. Dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat, istilah telemedicine, telehealth dan telenursing menjadi popular sebagai salah satu model layanan kesehatan.

Perawat sebagai salah satu tenaga medis yang mempunyai peranan penting untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan. Dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan kesehatan, perawat harus mampu melaksanakan asuhan keperawatan sesuai standar, yaitu dari mulai pengkajian sampai dengan evaluasi dan yang sangat penting adalah disertai dengan sistem pendokumentasian yang baik. Dengan adanya teknologi, sangat memungkinkan perawat memiliki sistem pendokumentasian asuhan keperawatan yang lebih baik. Baca lebih lanjut →

Kisah Sukses Perawat Indonesia


Dua perawat asal Indonesia, selama seminggu terakhir di awal April 2010 mengisi berbagai halaman media cetak di Jepang. Mereka adalahYared Febrian Fernandes dan Ria Agustina. Setelah keduanya dinyatakan lulus ujian nasional keperawatan Jepang. Keberhasilan ini patut dibanggakan karena hanya Ria, Yared, dan Lalin Ever Gammed (perawat Filipina) yang lulus ujian nasional untuk perawat asing, dari 254 peserta ujian, atau hanya sekitar 1.2% persentase kelulusan. Sedangkan pada ujian nasional tahun lalu, tidak ada satu pun peserta yang lulus.

Ria dan Yared bekerja di RS Sannocho di Kota Sanjo, Prefektur Niigata. Kedatangan perawat Indonesia di Jepang ini terwujud dalam kerangka Indonesia – Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA). Sejak tahun 2008 lalu, Indonesia telah mengirimkan tenaga perawat dalam dua gelombang. Perawat asing ini harus lulus ujian nasional keperawatan dalam tiga tahun sejak kedatangan mereka di Jepang. Ujian nasional keperawatan Jepang dilaksanakan sepenuhnya menggunakan huruf Kanji, termasuk istilah teknis medis. Selain itu substansi ujian juga termasuk mengenai sistem kesehatan Jepang, seperti asuransi dan peraturan perundangan di bidang kesehatan.



Kompetensi Perawat Indonesia

Saat ini dunia membutuhkan perawat dengan kualifikasi standar internasional. Pasalnya, kebutuhan tenaga perawat di negara-negara maju seperti Amerika, Kanada, Eropa, Korea, Jepang dan Timur Tengah terus meningkat. Diperkirakan hingga tahun 2020, negara-negara ini memerlukan 1 juta tenaga perawat dari Indonesia. Dengan demikian Indonesia mempunyai potensi besar untuk mendidik tenaga perawat. Namun, hal ini terhambat oleh fasilitas dan biaya pendidikan yang mahal, juga masih minimnya pendidikan master dan doktor di dalam negeri.

Kelemahan paling mencolok perawat Indonesia adalah kemampuan berbahasa Inggris. Padahal kemampuan berbahasa Inggris menjadi syarat utama yang diberlakukan negara-negara di atas. Indonesia bersaing dengan perawat-perawat dari India, Bangladesh, dan Filiphina yang memiliki kemampuan berbahasa Inggris. Dibandingkan dengan mereka, perawat Indonesia dikenal lebih ramah, sopan, dan tidak banyak menuntut, Indonesia mampu bersaing dengan mereka asalkan syarat utamanya dapat terlewati.

Selain peningkatan kualitas SDM dalam kemampuan berbahasa Inggris, saat ini yang perlu diperhatikan adalah mendapatkan pengakuan dunia internasional. Mampukah Indonesia mendapat pengakuan dunia internasional ?

Coretan Perawat Indonesia

Antara Perawat dan Dokter
Antara Perawat dan Dokter
Who Care?

Salah satu dosen kami (dosen di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia) pernah bercerita tentang pengalamannya ketika sedang megikuti acara penataran bagi dosen-dosen se-UI. Ada dosen dari fakultas lain yang bertanya, “Pak, apa bedanya Fakutas Ilmu Keperawatan (FIK) dan Fakultas Kedokteran (FK)?”. Lalu dosen kami menjawab, “Ya beda, kalau lulus dari FIK jadi perawat, kalau lulus FK jadi dokter” diikuti tawa dosen lainnya. “Kalau FIK itu care (merawat) pak, sedangkan FK itu cure (mengobati)” lanjut dosen kami.

Pengalaman yang pernah kami alami yang hampir serupa dengan kejadian diatas adalah ditanya “Perawat itu kerjanya ngapain ya?”. Teman saya juga pernah ditanya, “Kuliah di keperawatan kalau lulus jadi dokter atau bidan?”. Ada juga yang berfikir, “Setelah lulus dari keperawatan nanti bisa nglanjutin di kedokteran (S2 maksudnya) dan jadi dokterkan?”. Pertanyaan diatas masih sering ditanyakan di masyarakat. Kami sebagai bagian dari profesi keperawatan (yang saat ini posisi kami masih sebagai mahasiswa) merasa miris dengan kenyataan ini. Oleh karena itu hal ini menjadi salah satu tanggung jawab kami sebagai mahasiswa keperawatan untuk memberikan penjelasan atau gambaran tentang profesi perawat/nurse.

Perawat adalah sebuah profesi, dimana sebuah pekerjaan akan disebut profesi maka mempunyai syarat, beberapa diantaranya: kode etik, mempunyai organisasi profesi, mempunyai body of knowledge, diperoleh melalui pendidikan formal. Begitu juga perawat, mempunyai kode etik keperawatan, mempunyai organisasi profesi (di Indonesia PPNI), diperoleh melalui pendidikan formal, mempunyai body of knowledge, dan lain-lain. Jenjang pendidikannya mulai dari SPK (sekarang sudah dihapus), D3, D4, S1 Keperawatan, S2 Keperawatan dan Spesialis (Keperawatan Komunitas; Keperawatan Jiwa; Keperawatan Maternitas; Keperawatan Medikal Bedah; Keperawatan Keluarga; Keperawatan Gerontik; Keperawatan Gawat Darurat; Keperawatan Anak), dan S3. Untuk di Indonesia baru ada sampai jenjang S2 dan Spesialis (Keperawatan Komunitas; Keperawatan Jiwa; Keperawatan Maternitas; Keperawatan Medikal Bedah; Keperawatan Gawat Darurat; Keperawatan Anak).

Perawat dapat berperan sebagai pendidik, peneliti, advokat, pelaksana. Pendidik disini dapat sebagai dosen maupun ketika perawat memberikan penddikan kesehatan kepada klien. Peneliti yaitu mengadakan penelitian untuk mengembangkan ilmu dan praktik keperawatan. Advokat yaitu ketika membantu klien untuk mendapatkan hak-hak klien (seperti mendapat info tentang ASKESKIN; obat yang sesuai jangkauan ekonomi klien; pengobatan atau perawatan atau terapi yang sesuai). Pelaksana yaitu perawat yang bekerja memberikan asuhan keperawatan misalnya di tempat peayanan kesehatan seperti rumah sakit, dll.

Seorang perawat adalah profesi yang diharapkan selalu care (peduli) terhadap klien (pasien yang tidak hanya sebagai objek, tapi juga subjek yang ikut menentukan keputusan akan pengobatan/terapi/perawatan terhadap dirinya dan terlibat secara aktif). Seorang perawat memandang seseorang klien secara holistik/menyeluruh. Perawat tidak memandang klien hanya sebagai individu yang sedang sakit secara fisik/bio, tetapi juga memperhatikan kondisi mental/psikis/kejiwaan, sosial, spiritual, dan cultural. Oleh karena itu, untuk memberikan asuhan keperawatan, seorang perawat harus mengkaji aspek yang holistik tersebut (bio, psiko, sosio, spiritual, dan cultural). Dan asuhan yang dilakukan perawat adalah memberikan perawatan, sedangkan dokter adalah mengobati.

Salah satu contohnya adalah misalnya klien mengalami batuk. Maka sesuai profesinya, yang dilakukan dokter ke klien ini adalah memberikan obat batuk (misalnya dextral). Sedangkan yang dilakukan perawat atau asuhan keperawatannya adalah mengatasi masalah keperawatan apa yang timbul akibat batuk yang dialami klien tersebut dengan cara melakukan pengkajian terlebih dahulu, seperti: kapan mulai batuk, terus-menerus atau waktu-waktu tertentu, berdahak atau tidak, jika berdahak perlu dikaji apakah klien bisa mengeluarkan dahaknya, seperti apa dahaknya (jumlah, warna, konsistensi), apakah pernapasan klien terganggu, bagaimana pola napasnya, apakah aktivitas klien terganggu, jika ya maka perlu dikaji aktivitas seperti apa yang terganggu.

Jika klien batuk dan dahaknya sulit keluar, maka perawat mengajarkan cara bagaimana batuk yang efektif untuk mengeluarkan dahaknya atau dengan memberikan fisioterapi dada maupun suction jika masih banyak dahak yang menumpuk di saluran pernapasan atau paru-paru. Jika klien sulit bernapas, perawat menganjurkan klien untuk tidur dengan posisi tubuh bagian kepala-dada lebih tinggi daripada panggul-kaki (posisi semi fowler). Selain itu, perawat juga mengkaji perasaan klien. Jika klien mengalami kecemasan/ansietas, maka hal ini juga perlu diatasi perawat.

Contoh lainnya yaitu misalnya klien mengalami mual dan muntah. Dokter akan memberikan obat anti emetik untuk mengatasi masalah ini. Sedangkan asuhan keperawatan yang dilakukan perawat adalah mengatasi akibat dari mual muntah ini, seperti: memenuhi kebutuhan nutrisi untuk mengantikan nutrisi yang keluar saat muntah dan mencegah kurangnya nutrisi pada klien; memehuhi kebutuhan cairan (air, elektrolit) untuk menggantikan cairan yang keluar tubuh dan mencegah terjadinya dehidrasi. Perawat juga perlu mengkaji perasaan klien dan mengatasi jika ada masalah dengan psikologisnnya.

Untuk kedepannya (yang akan dituju), keperawatan tidak hanya berfokus pada pelayanan kesehatan (di rumah sakit, poliklinik, Puskesmas, dan penyedia pelayanan kesehatan lain) namun keperawatan yang berbasis komunitas (baik komunitas secara keseluruhan di suatu wilayah tertentu, agregat/kelompok usia tertentu, keluarga, maupun gerontik/lansia). Dengan sistem yang seperti ini (berbasis komunitas), perawat tidak hanya duduk di tempat pelayanan kesehatan menunggu datangnya klien atau merawat klien yang sudah ada di tempat pelayanan kesehatan, tetapi juga melakukan pengkajian ke masyarakat/komunitas (ke komunitas itu sendiri, agregat, keluarga, gerontik) untuk mengetahui masalah kesehatan yang sedang dialami, faktor risiko dan penyakit yang akan muncul akibat risiko tersebut, serta pendidikan kesehatan (seperti penyuluhan tentang DBD, Flu Burung, Hipertensi/darah tinggi, penyakit Gula/Diabetes Mellitus, dan lain-lain).

Pada sistem perawatan berbasis komunitas, perawat bekerjasama dengan berbagai pihak, seperti: tim kesehatan lain, kader kesehatan wilayah setempat (wilayah yang dikaji), pemerintahan setempat, SDM yang ada diwilayah setempat untuk diberdayakan kemampuannya (empowerment), dinas Kesehatan setempat, dinas Kebersihan dan Tata kota, dan lain-lain. Hal ini akan bermanfaat untuk pendeteksian jumlah penderita penyakit tertentu yang tidak memeriksakan kesehatannya ke pelayanan kesehatan, pendeteksian faktor risiko dan penyakit yang akan ditimbulkan, serta yang paling penting adalah menjadi salah satu solusi untuk mengatasi masalah kesehatan yang ada di Indonesia karena disini upaya promotif maupun preventif/pencegahan terhadap masalah kesehatan lebih optimal secara kuantitas dan waktu (karena lebih awal) daripada di sektor lain (klinik/penyedia pelayanan kesehatan). Harapannya, sistem berbasis komunitas ini mendapat persetujuan, dukungan serta kerjasama dari berbagai pihak dan dapat terlaksana di seluruh wilayah yang ada di Indonesia.

Ayo wujudkan masyarakat Indonesia sehat bersama Perawat!

Depok, May 15th, 2008
By_ Asri Nurjannah, Mahasiswa Profesi Keperawatan UI
Calon Perawat

13AUG
SEBUAH REFLEKSI: MUNGKINKAH MENJADI PERAWAT YANG BAIK?

Menjadi profesional ádalah dambaan setiap perawat. Tapi.., samakah perawat yang baik dengan yang profesional? Kalau tidak sama, dimanakah letak perbedaaanya? Sebagai perawat saya sering bertanya dalam hati, apakah saya telah menjalankan peran saya dengan baik? Baik menurut siapa? Saya?! Ahk itu terlalu subjektif dan naif sekali. Mungkinkan ada orang yang bisa menampilkan hal terbaik untuk semua, setiap saat, setiap tempat? Baik menurut teman sekerja, baik menurut mahasiswa, baik menurut pasien dan baik menurut profesi kesehatan lain, katakanlah dokter. Ahh, bahagía rasanya bila ada orang yang bisa menjelaskan hal tersebut untuk saya. Tapi, bila memang ada yang bisa menjelaskan, apakah kemudian saya bisa menjalankanya? Wah, mencari penjelasan saja sulit, apalagi menjalankanya!

Tahun 1997 adalah tahun awal saya praktek sebagai sarjana perawat. Saya merawat 6-8 pasien bersama oleh 1-2 orang perawat SPK. Satu kisah menarik diawal-awal perkerjaan saya adalah merawat pasien katakanlah Bapak Sero (samaran). Dia dirawat dengan serosis hepatis dengan perdarahan saluran cerna atas (varises esophagus?). Dokter memberikan instruksi untuk melakukan monitoring tanda vital tiap 4 jam, irigasi lambung tiap 6 jam dan puasa, disamping beberapa pemeriksaan dan obat. Saya mengerti betul alasan dokter memberikan instruksi tersebut. Tanda-tanda vital (TTV) seperti tekanan darah, nadi dan suhu serta pernafasan saya monitor betul, bahkan tiap 2 jam. Karena saat saya perhatikan kondisi pasien tidak stabil, NGT kadang keluar darah, kadang tidak. Bila terjadi perdarahan internal yang hebat, akan terdeksi dengan monitoring TTV yang baik. Tingkat kesadaran dan kognitif pasien juga fluktuatif. Mungkinkah itu karena level bilirubin yang tinggi? Atau hasil pencernaan darah akibat pecahnya varises di dalam saluran pencernaan yang menghasilkan sesuatu yang meracuni otak? Akh, rasanya walupun dokter tidak pernah mengintruksikan saya untuk monitoring tingkat kesadaran, tidak salahnya saya melakukan itu (ensepalopati hepatik?). Pasien tampak kurus, warna kulit agak kehijauan dan kering dengan perut sedikit membuncit. Oh ya, mungkin albumin juga telah rendah, ”Bisa asites juga nih pikirku.” Maka saya kembali ke ruang perawat untuk mengambil meteran dan mengukur lingkar perut Pak Sero. Bukankah hanya satu paket monitoring, sedikit tambahan beberapa detik akan sangat membantu analisa perkembangan kondisi pasien. Siapa tahu juga bermanfaat bagi dokter nantinya.

Jam 12 siang adalah saatnya mengukur tanda vital dan melakukan irigasi lambung. Tempat cuci tangan adalah tujuan pertama saya setelah melakukan persiapan troli untuk irigasi lambung ”Selamat siang Pak sero, bagaimana kondisi Bapak siang ini? Dengan mata sedikit terbuka dan kepala bergerak ke arah saya berdiri, ia menjawab dengan lirih ”Saya haus pak, tenggorokan saya kering.” Akh benar sekali, sejak masuk rumah sakit atau bahkan sejak dari rumah mungkin ia tidak minum dan makan, tapi karena status perdarahan lambungnya, dokter memuasakanya, apa yang harus saya lakukan agar tidak memperparah kondisi perdarahan lambung tapi sedikit menambah kenyamanan pasien ya? Akh, saya ingat, saya pernah membaca buku bahwa memberikan minum satu dua sendok, mengolesi bibir dengan madu dan menutup mulut dan hidung dengan kasa basah akan sangat membantu mengatasi perasaan haus dan tenggorokan kering pada pasien yang dipuasakan, namun tetap aman (untuk kasus ini). ”Bapak Sero, lambung Bapak masih terjadi perdarahan, Bapak masih harus puasa. Saya hanya akan berikan 2 sampai 3 sendok air saja ya Pak, untuk membasahi kerongkangan Bapak? Saya langung bergerak ke arah pegangan tempat tidur untuk mengatur posisi tidur pasien menjadi setengah duduk (Semi Fowler’s) dilanjutkan dengan memberikan minum satu sendok perlahan lahan hingga sendok ketiga selama 2 menit. Saya tetap berpikir bahwa kesadaran pada kondisi penyakit seperti ini tidak stabil, bila kesadaran menurun dan kemampuan menelan tidak baik, diberikan minum tidak dengan perlahan-lahan, tetes demi tetes, kan bisa aspirasi ujarku. Tanda vital saya ukur dengan baik dan seksama, saya catat dalam lembaran monitoring data pasien. Irigasi lambung saya mulai dengan memasukan air aqua waktu itu (Kalau ada, sebaiknya sih NaCl 09%) tanpa es. Karena menurut buku medical surgical dengan editor Lewis, kalau tidak salah baca, es akan membuat imaturitas sistem pembekuan darah pada area perdarahan dan malah dapat tidak mengoptimalkan pembekuan yang diharapkan. Saya masukan 50 cc dengan perlahan sesuai gaya grafitasi, tidak saya inject dengan spuit. Memang cara ini lama, tapi lebih aman untuk menghindari perdarahan baru akibat robekan pembuluh darah atau cedera mukosa yang sangat rawan akibat tingginya tekanan vena porta yang menyebabkan munculnya varises di sekitar saluran cerna dan rapuhnya mukosa akibat penurunan status nutrisi sistemik (hipo albuminemia yang sering terjadi pada pasien serosis) dan puasa. Beberapa saat saya kemudian setelah sekitar 100 cc air dimasukan, dengan saya tahan sedikit air masih di ujung NGT saya alirkan NGT kebawah. Dengan cara ini saya harapkan air di ujung NGT akan menciptakan tekanan negatif yang menarik udara dan air di ujung dalam NGT dan lambung sehingga air lebih mudah keluar tanpa di aspirasi (hee… ingat juga prinsip-prinsip hukum fisika SMA). Untuk mencari posisi NGT yang optimal, beberapa posisi pasien di rubah dengan perlahan, karena posisi NGT di dalam lambung sulit di perkirakan tanpa rontgent thoraks. Akhirnya, air masuk sekitar 450 cc dan keluar sekitar 400 cc juga dengan warna merah darah dan sedikit stosel. Akh, perdarahan masih aktif sekali.

Saya catat semua hasil yang di dapat dalam lembaran yang tersedia. Melihat kondisi kulit, imobilisasi dan stataus nutrisi, saya rasa skor resiko dekubitus-nya tinggi nih! Beberapa tetes ’minyak goreng’ saya oleskan sambil dipijat sebentar di punggung dan daerah tonjolan tulang pasien untuk mengurangi resiko iritasi akibat kulit yang kering dan penekanan yang lama, tidak lupa juga spresi tempat tidurnya dirapikan. Kemudian saya ubah posisi pasien, sedikit miring kearah yang berbeda dengan disokong beberapa bantal dan handuk pasien untuk mencegah dekubitus. Pada saat memiringkan pasien, saya katakan kepada Pak Sero, jangan mengedan, biarkan saya yang menggerakan tubuhnya, karena pengedanan dapat memicu perdarahan lambung yang baru. Penghalang tempat tidur saya pasang, dan kliningan saya letakan di dekat tangan pasien. Saya katakan ”Bila Pak Sero ingin sesuatu, bunyikan kliningan ya pak, nanti saya datang, tidak perlu teriak.” Karena, teriakan berarti pengedanan yang dapat membahayakan kondisi varises esophagus/gaster pasien saat itu.

Catatan perkembangan keperawatan saya buat, rencana spesifik untuk Bapak Sero saya tulis dalam lembaran keperawatan. Saya harap catatan ini akan dibaca oleh teman perawat saya dan dilaksanan oleh mereka dengan cara saya melakukanya, bukan dengan cara mereka. Karena saya tahu bahwa teman saya jarang yang suka membaca buku, jadi ilmu mereka adalah ilmu jaman dulu yang kadang sudah tidak update lagi. Akh, mencatat dengan singkat dan jelas instruksi keperawatan ternyata tidak mudah. Setengah jam lebih saya harus mencatat point point penting yang harus catat agar teman saya memahami apa yang saya maksud. Menulis mulai dari diagnosa keperawatan, tujuan dari tindakan dan rencana spesifik dari tindakan yang harus dilakukan untuk Bapak Sero adalah aktifitas pikir yang sangat melelahkan. Namun apa daya, dari siapa lagi teman perawat dan mahasiswa akan belajar kalau tidak ada yang memulai. Teman satu shift sudah pulang semua, perawat sore telah mulai bekerja. Inilah saatnya untuk menyampaikan rencana keperawatan Pak Sero agar dilaksanan oleh teman saya. Penjelasan itu memakan waktu seperempat jam lebih sedikit. Teman yang menerima penjelasan agak sedikit bingung, tapi terlihat antusias.

Saat itu jarang antar perawat menyampaikan progress report dan rencana keperawatan pasien dengan detail. Pasien lain saya jelaskan tidak terlalu mendetail, karena kondisinya relatif lebih baik dari Pak Sero, namun semuanya tercatat dengan jelas. Semoga kelebihan satu seperempat jam dari dinas saya dapat bermanfaat untuk pasien dan perawat lain serta dicatat sebagai ’infestasi’ untuk kehidupan kelak. Diruang ganti, saya bertanya di dalam hati, betulkah memang pasien harus dipuasakan? Sampai kapan? Apa keuntungan dan kelebihan bila dipuasakan? Akh.., nyari info dimana ya? Melihat fenomena diatas, apakah dokter happy dengan apa yang saya lakukan, apakah data yang saya berikan bermanfaat, bukankah nanti malah dianggap sok pintar? Bukankah perawat lain beranggapan, cara kerja gaya saya lambat, terlalu banyak berpikir dan mengurangi waktu istirahat mereka? Bahkan bisa saja saya dianggap pendatang baru yang sedang mencari muka? Tapi, perlukah saya mengeksplorasi perasaan atau ’prasangka’ mereka terhadap saya yang belum tentu benar. Bisakah mereka atau saya sendiri jujur mengoreksi hal-hal penting dari sisi profesi atau dari sisi humanisme yang perlu ditumbuhkan dari seorang perawat? Akh, kenapa aku terjebak dalam ’prasangka’ tidak produktif seperti ini, perasaan seperti ini nanti malah jadi hypersensitive dan kontra produktif. Saya tidak tahu apakah apa yang saya lakukan sudah dianggap baik oleh pasien, teman perawat dan dokter. Tapi…, saya hanya mencoba melakukan yang terbaik, apa yang saat itu saya anggap tepat. Opps.., tapi…, benarkah pikiran seperti itu, tidakkah penting mengeksplorasi suatu peristiwa dari sudut pandang yang ’berbeda’? Bukankah di dunia ini tidak ada sekedar hitam-putih? Ohh.., betapa naifnya saya, ternyata perbuatan baik itu belum tentu akan dipersepsikan ’baik’ oleh orang lain. Terus.., apakah kemudian saya harus mengekor? Akankah kita mengaminkan sesuatu yang tidak ada rasionalnya? Perlukah kita takut untuk berbuat yang lebih baik? Bukankah dunia keperawatan perlu perubahan, perubahan yang konstruktif? (bersambung…)

By_ Masfuri S.Kp MN (Salah satu staf pengajar di Fakultas Ilmu Keperawatan UI bagian Keperawatan Medikal Bedah/KMB)

13AUG
Dokter Pintar dan Perawat Baik : Sebuah Autokritik?

Tulisan ini bukan pembelaan perawat, ini hanya respon atas komentar pembaca pada situs ini dan blog saya (masfuri.wordpress.com), tapi ini hanya bangian kecil dari renungan saya sebagai perawat yang bekerja bersama dokter.

Pertama saya katakan bahwa terima kasih anda para dokter telah memberi masukan atas kinerja para rekan kami perawat, terutama yang bekerja bersama anda. Banyak dari mereka memeng membutuhkan up grade atas ilmunya, karena mereka bahkan hingga menjelang pension mungkin belum pernah mendapatkan pelatihan atau seminar. Dana dari atas mungkin ada, tetapi peruntukanya mungkin di ‘pelintir’ untuk kepentingan lain oleh oknum-oknum yang tidak mengerti betapa pentingnya perawat bagi sebuah tim kesehatan yang efektif untuk anak bangsa. Feedback anda sangat membantu saya untuk berkaca dan membuat mata saya berkaca-kaca karena sedih, betapa banyak rekan perawat saya belum bisa secara optimal bekerja.

Perawat telah mencoba memperbaiki kompetensinya dengan salah satu caranya adalah meningkatkan level pendidikan. Pendidikan D3 keperawatan hingga S3 diharapkan bisa menjadi partner untuk menyelesaikan masalah pasien yang semakin komplek dari sudut pandang yang seorang perawat. Selama ini, banyak sekali ketimpangan antara dokter dengan pendidikan minimal 6 tahun di tingkat universitas, sementara banyak dari kami yang lulus hanya SPK, kemudian D3 keperawatan. Sehingga wajar bahwa mereka secara pola pikir dan analisis berbeda atau bahkan ketinggalan dengan dokter. Sayangnya, pertumbuhan jumlah perawat yang baik dan pintar tidak secepat membalikan telapak tangan. Dengan tingkat analisa dan berpikir kritis yang setara, namun dari sudut pandang yang berbeda, diharapkan akan terjadi harmoni kerja yang lebih baik dalam menentukan tindakan untuk pasien. Seperti dinegara Eropa dan Australia dimana saya pernah belajar disana, banyak sekali keputusan untuk pasien adalah hasil diskusi bersama antara perawat, dokter dan profesi lain seperti farmasi dan fisioterapi. Kami sangat berterima kasih bila demi kepentingan pasien, anda memotivasi rekan kami perawat untuk belajar lebih baik tentang pekerjaan dan tanggung jawab mereka.

Pengalaman diskusi untuk menentukan tindakan/pengobatan pasien selama saya praktek dengan PPDS termasuk chief-nya sering sekali terjadi. Dokter yang akan visite pasien memanggil saya untuk menjelaskan perkembangan pasien selama dia tidak ditempat. Saya jelaskan perkembangan pasienya dengan mendetail (bukan hanya tekanan darah, nadi dan suhu saja seperti banyak perawat lain melakukan). Kemudian dokter menyampaikan rencananya ke saya, sebelum ditulis ia meminta pendapat kepada saya apakah ada yang tidak setuju, perlu ditambah atau di kurangi? Kemudian saya memberi pendapat sesuai dengan apa yang saya lihat, analisa sesuai dengan patofisiologi dan pengetahuan tentang obat dan pengalaman merawat pasien. Kadang saya langsung setuju, namun tidak jarang saya meminta dokter untuk menambah atau mengurangi atau mengganti atau menunda program untuk pasien dan itu diterima oleh dia. Bila pun tidak diterima, dokter yang baik ini akan menjelaskan alasan dari sisi profesinya. Setelah itu, program harian pasien di buat secara tertulis untuk dilaksanakan. Bahkan saat ini, di rumah sakit yang telah maju kerjasaman timnya atau di unit tertentu, pemulangan pasien adalah hasil diskusi bersama antar profesi, sebut saja dokter, perawat dan atau pisioterapi.

Disamping dokter pinter dan baik serta berfokus pada kepentingan pasien, ada juga dokter yang hanya merasa pinter tetapi sejujurnya tidak sepintar yang dia rasakan. Dokter yang merasa bisa, bukan dokter yang bisa merasa kelebihan dan kekuranganya. Banyak pengalaman yang saya rasakan dengan tipe dokter seperti ini. Misalnya, pada suatu hari terjadi henti nafas/jantung pada seorang pasien, disitu terdapat banyak dokter muda, dokter sedang belajar spesialis dan mahasiswa perawat. Semua yang saya lihat pada saat mendengar ada teman saya minta bantuan untuk membantu RJP hanya bingung. Saya langsung mengambil langkah penyelamatan untuk menolong pasien tersebut. Ini adalah kali pertama saya akan menolong RJP setelah saya mendapatkan pelatihan BLS, tidak tangung tanggung, langsung menjadi leader. Selanjutnya saya bergerak untuk mulai melakukan RJP sambil menginstruksikan teman perawat lain untuk mengambil monitor EKG, oksigen, suction, set intubasi, pasang infus dll. Selama itu, mereka hanya menonton, mengelilingi pasien, tidak terlihat intuisinya untuk mulai menolong tim yang sedang pontang-panting mencoba menyelamatkan kehidupan. Hanya satu orang dokter wanita yang terlihat mengerti apa yang harus mereka lakukan. Dokter tersebut bersama teman saya mencoba memberikan obat-obat via infus bersama teman saya (atrophin, epineprin dll). Ketika set intubasi datang, saya langsung menentukan ukuran yang tepat untuk pasien, mencoba mengetes cuf-nya baik apa tidak dan meminta salah satu dokter PPDS untuk melakukan intubasi. Ketika ia terlihat ragu, saya coba menjelaskan caranya sebisa saya (saya merasa bisa melakukanya, tetapi saya tetap menghormati dokter yang ada di sebelah saya). Ketika selang bisa masuk, saya lihat dokter yang mengalungkan stetoskop di lehernya tidak berusaha membantu dokter yang sedang intubasi untuk mementukan letak selang. Saya secara instink langsung mengambil stetoskop yang dijadikan ’dasi’ bersama jas dokter tersebut. Secepatnya saya auskultasi simetrisitas bunyi nafas, dengan sekali instruksi tarik dan masukan sedikit lagi kepada dokter yang intubasi, posisi terbaik bisa di capai saat itu dan kemudian di fiksasi. Setelah beres dengan urusan airway, saya minta dokter-dokter muda untuk mulai belajar melakukan kompresi jantung luar dengan arahan saya, juga bagaimana memegang ambu bag yang benar, karena saya lihat perawat disitu sudah kelelahan. Alkhamdulillah, akhirnya nyawa pasien tersebut dengan izin-Nya dapat diselamatkan hari itu.

Kisah lain adalah saat saya berada di rumah sakit rujukan propinsi, kebetulan saya diminta mejadi trainer di rumah sakit tersebut. Pada saat saya lihat seorang pasien yang sedang sesak dengan oksigen nasal kanul terpasang, posisi tidur datar, saya melihat ada sesuatu yang aneh pada keadaan tersebut. Saya mengambil stetoskop dan saya dengarkan suara paru. Ehm, suara mengi (wheezeeng). Langsung saya tanya pasienya, apakah punya penyakit asthma? Ia mengangguk. Sebagai pembimbing saya panggil perawat disitu, saya minta mereka mendengarkan suara yang ada di stetoskop dan meminta pendapat mereka tentang apa yang ia dengar dan apa artinya? Mereka teringat dengan rekaman suara CD yang saya perdengarkan sewaktu dikelas. Dengan kurang yakin perawat tersebut megatakan ”mengi, asthma ya pak?”, saya katakan ”betul!”. Dan kemudian saya ajarkan kepada perawat tersebut cara menyampaikan hasil observasinya dengan baik kepada dokter yang merawat agar dia tidak tersinggung dan perawat itu tidak dianggap sok tahu. Dokter yang sedang asih ngobrol datang tergopoh-gopoh ke pasien sambil mengatakan ”Akh masa, tadi saya auskultasi tidak terdengar apa-apa kok, masa iya asthma?” Saya pindak ke tempat lain untuk observasi perawat lain. Setengah jam kemudian saya balik ke tempat pasien ’asthma’ tadi. Ternyata sudah tidak ada, saya tanyakan kepada perawat yang merawat pasien tadi, ia katakan sudah pulang karena sesaknya sudah hilang, dengan ekspresi bahagia. Pada matanya tergambar kepuasan dan kebahagiaan, pasien yang sudah 2 jam tidak terdiagnosa akhirnya pulang. Perawat tadi sepertinya ingin mengatakan kepada saya ”Yes!, sekarang aku sudah bisa asukultasi paru.”

Masih banyak cerita-cerita lain, betapa pasien diuntungkan bila perawatnya pinter. Kenapa ada sebagian dokter tidak bahagia dengan perawat yang pinter? Ingat, kami bukan saingan anda, bersainglah dengan sesama profesinya, kalau itu baik bagi anda. Kami tentu juga bukan musuh anda, musuh kami adalah gizi buruk, TBC, diare, cross infection dan lain lain. Untuk itu kami pasti tidak akan pernah merasa anda para dokter menjadi musuh yang bisa lebih baik jika hanya dijelek-jelakan. Pernahkan terbayangkan betapa banyak pasien dikorbankan akibat kelalaian sebuah tim kesehatan yang tidak optimal dalam bekerja? Bukankah tujuan dari ilmu kedokteran, kedokteran apapun dan dari manapun itu adalah untuk kebaikan umat manusia?

Banyak sekali kisah perawat tidak pinter, tidak sedikit pula kisah dokter yang hanya sok pinter saja, apalagi dengan banyaknya fakultas kedokteran swasta. Akh, kenapa kita ribut urusan tersebut? Mari kita perbaiki apa yang bisa kita perbaiki, setuju? Siapa yang berbuat baik, sesungguhnya Alloh dan Rosul-Nya akan menjadi saksi atas amalan tersebut, itulah kata ustadz yang membuat saya berusaha tidak tengok kanan dan kiri dalam berbuat yang terbaik untuk sesama.

Tulisan ini dibuat untuk merespon beberapa tanggapan tentang beberapa tulisan saya di blog ini. Bila mau jujur, pada saat saya bekerja di ruang gawat darurat, berapa banyak pengalaman saya menerima rujukan dengan diagnosa kurang tepat, tindakan/pengobatan yang kurang memberi manfaat dari para dokter yang merujuk. Anggapan itu tentunya saya katakan setelah mendapat pembenaran dari rekan mereka sesama dokter. Banyak kisah juga di ruang operasi, bagaimana mereka mencari celah agar ”selamat” dari ”miss or near miss” atas tindakan yang dilakukan mereka. Dilain pihak, saat mereka kuliah, berapa harga yang harus ditanggung masyarakat akibat kesalahan atau percobaan para dokter/calon dokter. Meminjam istilah judul film Holiwood, bisa dikatakan bahwa “I know what you did last summer” Terlepas dari itu semua, yang saya yakini, mereka telah berbuat dengan kemampuan terbaik mereka, jika masih belum benar, saya berprasangka bahwa lain waktu mereka bisa lebih baik. Marilah kekurangan diri kita dan orang lain diperbaiki, buka dicemooh.

Lihatlah di luar tempurung, wow, ternyata bulan itu sangat indah!

Salam dari Netherland

Masfuri S.Kp MN (Salah satu staf pengajar di Fakultas Ilmu Keperawatan UI bagian Keperawatan Medikal Bedah/KMB)

Sumber_ www.perawatonline.com

13AUG
Menjadi Perawat, Pilihan atau “Daripada Enggak…?”

Selama lebih dari tiga tahun saya menjadi mahasiswa keperawatan di salah satu universitas negeri di Pulau Jawa, sudah tidak terhitung berapa kali dialog seperti ini terjadi:

Somebody : Hai Don, apa kabar? Kuliah sekarang? ambil jurusan apa?
Doni : hai juga, Alhamdulillah baik, iya sekarang kuliah, di keperawatan
Somebody : hah?Keperawatan?Kok bisa?? Tanggung banget, kok gak Kedokteran sekalian?
Doni : Tanggung?? Maksud Loe??

Dialog seperti ini kerap datang manakala saya bertemu dengan teman-teman lama sewaktu SMP maupun teman-teman SMA yang baru mengetahui pilihan jurusan pada tes SPMB waktu itu.

Bukan tanpa alasan mereka bertanya demikian, dan bukan maksud hati pula saya menyombongkan diri karena sebagian besar teman-teman lama saya beranggapan bahwa seorang Doni lebih “pantas” menjadi seorang dokter kelak ketimbang menjadi perawat, sebuah pemikiran yang dapat kita maklumi manakala sebuah profesi dianggap lebih rendah ataupun lebih tinggi dibandingkan dengan profesi lain.

Akan tetapi saya tidak tinggal diam ketika mendapati pemikiran-pemikiran seperti itu walaupun pada awalnya memang saya merasa tidak PD ketika harus kuliah di Keperawatan, bukan karena saya merasa tidak pantas ada di jalur ini namun lebih kearah perbedaan perbandingan gender yang sangat signifikan, bayangkan saya merupakan satu dari empat mahasiswa laki-laki dari total 100 mahasiswa keperawatan di angkatan saya. Namun dengan seiring berjalannya waktu saya dapat beradaptasi dengan keadaan ini dan selalu berusaha menjelaskan dan memberikan pengertian yang sebenarnya kepada setiap teman lama saya mengenai apa dan siapa perawat itu sebenarnya.

Kembali ke permasalahan tentang anggapan masyarakat luas terhadap sebuah profesi, khususnya perawat. Banyak orang beranggapan bahwa dokter lebih pintar dari perawat, sejujurnya saya sempat sependapat dengan anggapan tersebut karena selama saya pernah mengunjungi rumah sakit (pada pelayanan kelas 3), saya selalu mendaptkan fakta bahwa perawat bertindak selalu atas perintah dokter dan wajar bila akhirnya masyarakat berpendapat bahwa dokter lebih pintar daripada perawat karena hanya orang yang lebih pintar/berkuasa-lah yang dapat memerintah orang lain.

Namun ternyata profesi perawat tidaklah sebodoh atau selemah yang selama ini dipersepsikan oleh masyarakat luas. Kita memang tidak bisa memungkiri bahwa profesi dokter telah lebih dulu berkembang di negara ini ketimbang perawat, dapat kita lihat bagaimana sekolah tinggi kedokteran pertama sudah ada dari jaman Belanda yang kita kenal dengan STOVIA, dan barulah setelah jumlah dokter dirasa kurang memadai akhirnya pelatihan-pelatihan bagi pribumi untuk menjadi perawat dibuka oleh pemerintah Belanda pada saat itu, dan perawat masih didesain sebagai pembantu dokter. Fakta sejarah ini menggambarkan bagaimana keterlambatan perkembangan profesi perawat di Indonesia bila dibandingkan dengan dokter.

Terlambat bukan berarti tidak bisa mengejar… dengan kemajuan teknologi informasi seperti sekarang ini sebetulnya merupakan peluang yang harus dimanfaatkan oleh kaum perawat untuk mengejar ketertinggalannya dengan profesi lain yang pada hakikatnya merupakan rekan kerja yang setara dan saling melengkapi. Adapun faktor lain yang juga memberatkan dunia keperawatan untuk maju adalah persepsi masyarakat Indonesia tentang perawat itu sendiri, masih banyak masyarakat yang berpendapat bahwa “bila kamu pintar dan ingin sukses di bidang kesehatan, maka jadilah dokter. Namun bila kecerdasanmu pas-pasan tapi tetap ingin berkiprah di bidang kesehatan, maka jadilah perawat, lebih gampang kok kuliahnya” dan apabila ada orang yang dianggap sedikit lebih pintar di dunia keperawatan akan dibilang “ih tanggung banget, kenapa gak jadi dokter aja sekalian” . Pendapat-pendapat seperti inilah yang akhirnya membuat dunia keperawatan secara relatif masih kurang terisi oleh manusia-manusia Indonesia yang pintar dan unggul, karena keengganan dari orang tua yang memiliki anak cerdas untuk menyekolahkan anaknya di bidang keperawatan.

Jadi semua kembali ke individu yang sudah menjadi perawat maupun yang masih menjadi calon perawat, karena hanya kita lah yang bisa menunjukkan wajah keperawatan yang sebenarnya dan seharusnya kepada khalayak ramai sebagai salah satu profesi kesehatan yang mempunyai peran cukup besar untuk bersama-sama menyehatkan Indonesia kita tercinta ini.

By_ Ferdias Ramadoni, Mahasiswa Reguler Keperawatan UI

12AUG
Ada Apa Dengan Perawat? Kenapa Harus Dokter?

Sebenarnya note ini adalah sebuah renungan tentang pengalaman saya selama ini, selama jadi mahasiswa keperawatan. Mungkin juga hal-hal yang saya alami juga dialami oleh teman2 lain yang senasib sepenanggungan. Pertama kali jadi mahasiswa, pertanyaan pertama yang akan dilontarkan klo kenalan sama orang adalah
Orang : kuliah apa kerja mbak?
Saya : kuliah
Orang : dimana mbak?
Saya : di keperawatan (dengan tampang apa adanya dan senyum malu-malu serta rasa canggung)
Orang : ooh, akper ya?
Saya : bukan , saya S1 di UI (dengan perasaan rada pede dikit)
Orang : ooh, sarjana. Brarti nanti jadi dokter dong??
Saya : (he ?? *$%@#*$%@#)
(dengan bingung dan mulai berpikir, ni orang pola pikirnya gimana sih, ada2 aja, kuliah di keperawatan kog jadi dokter. Dimana2 juga kuliah keperawatan ya nanti jadi perawat, kuliah di sastra pasti jadi ahli sastra, kuliah di teknik, ya nanti jadi tukang insinyur, kuliah di ekonomi ya jadi ahli ekonomi). Nggak. Klo kuliah di keperawatan nanti saya jadi perawat (akhirnya terucap juga setelah bisa kembali pada realita)
Orang : kenapa ga jadi dokter aja skalian??
Saya : (diam,,,,,, berpikir mau jawab apa) saya maunya jadi perawat tuh, gimana dong??
Orang : iya sih, tapi kan sayang, skalian aja jadi dokter
Saya : (mulai berpikir, nih orang maksa banget sih, udah dibilang mau jadi perawat, masih juga nawarin suruh jadi dokter. Suka-suka gw dong. Lagian juga udah dibilang klo kuliah di keperawatan ya jadi perawat). Saya maunya jadi perawat mbak (sambil pasrah dan mangkel juga)

Percakapan2 diatas juga mungkin sering banget dialami sama temen2 yang laen. Awalnya saya juga speechless pas orang bilang “knapa ga jadi dokter aja skalian?”. Memangnya ada apa sih sama dokter?? Emang ada yang salah ya klo jadi perawat??. Tapi saya terinspirasi oleh salah satu teman yang juga bernasib sama, saat menghadapi pertanyaan serupa, dia menjawab: “tapi saya maunya jadi perawat”. Saya pikir, boleh juga ni jawaban, toh pada akhirnya kan emang semua juga kembali pada selera saya, karna saya yg jalanin semuanya (sama halnya sperti nawarin es krim ke anak kecil yang minta permen, anak itu Cuma bilang “saya mau permen”, mau ditawarin apa juga kan dia maunya permen, so susah di ganggu gugat). Akhirnya saya pun mengutip kata2nya itu saat berhadapan lagi dengan pertanyaan diatas, dan akhirnya lawan bicara saya pun jadi ikutan speechless. Klo mau ikutin naluri, pastinya pertanyaan kaya begitu akan bikin emosi jiwa, dan bikin kita berpikir: ni orang ikut campur urusan gw aja sih, suka2 gw mau ngapain, toh dia juga ga dirugiin.

Pengalaman lain yang baru saja dialami temen saya saat ke studio foto deket kampus untuk bikin pas foto ijazah (kebetulan saya ada di TKP). Fotografernya nanya ke temen saya
Fotografer : kuliah dimana mbak?
Temen : di keperawatan mas
Fotografer : ooh, fakultas MIPA ya mbak
Saya : (kaget dan speechless, dalam hati mikir, ni orang pola pikirnya gimana sih?? Sempet mikir juga, ni orang pura-pura, apa mang gaptek beneran sih?? Kog bilang MIPA??)
Temen : bukan mas, di fakultas keperawatan
Fotografer : iya,,, masuk fakultas MIPA kan??
Temen : *$%@#!*$%@#!

Wuahh,,,, percakapan yang bener2 bikin emosi jiwa. Padahal udah pede banget saat ditanya kuliah dimana, tapi kog ujungnya ga sesuai prediksi. Biasanya kan respon orang2 klo tau ada yg kuliah di keperawatan adalah “ooh, ada ya?”; “S1 ato D3?”; “knapa ga jadi dokter aja skalian?”. Alhasil saking keselnya, pose temen saya saat difoto jadi terpengaruh karna mood yang jelek (entah karna mang udah jatahnya aja jadi fotonya kurang “sesuai” pesanan dia atau karna efek percakapan).

Pertanyaan lain yang bener2 bikin saya speechless soal jurusan kuliah adalah “apakah anda menyesal kuliah di keperawatan?”. Soal menyesal atau tidak, mungkin saya sendiri juga tidak begitu tau apa yang saya rasakan. Tapi saya punya pemikiran, kalo udah kecebur, bikin basah aja skalian, ga usah tanggung-tanggung. Saat teman2 lain merasa denial kuliah di keperawatan ( walopun saya pun merasa denial juga), saya berpikir hal ini wajar aja dialami (apalagi saya juga ga tau masa depan apa yang menanti saya saat jadi perawat) tapi karena saya berpikir soal kecebur dan basah sekalian, makanya saya ceburkan diri saya sepenuhnya. Waktu itu saya berpikir sebodo amat yang lain ngrasa denial, tapi gw ga mau terus2an meratapi dan menyesali semua, toh udah tanggung, bikin basah aja skalian, toh kalo udah ga tahan pasti bakal ngrasa pengen mundur juga. Dan akhirnya,,, sampai juga saya di tahap akhir kuliah akademik di keperawatan. Walopun fase denial sering kambuh2an, tapi toh akhirnya saya bisa sampai di fase ini, yang mungkin saat 4 tahun yang lalu belum terpikirkan di benak saya apakah bisa sampai di tahap ini atau tidak. Akhirnya, menjawab pertanyaan menyesal atau tidak kuliah di keperawatan, saya memilih untuk menjawab: tidak boleh menyesal, karna apapun yang sudah saya alami, pasti akan ada manfaatnya untuk saya, karena pastinya tidak ada hal yang sia-sia, kalau kita bisa menemukan apa manfaat dan hikmah dibalik semuanya.

Memang sih, keperawatan di Indonesia belum sekeren dan semaju negara2 maju lainnya. Kadang suka gerah juga klo ada orang yang nimpalin “ perawat aja ada yang sarjana ya??”. Memang salah ya klo perawat di Indonesia mencoba untuk lebih maju, atau paling tidak berupaya menyamai brand perawat di Negara lain. Klo ada yang tanya “apa beda perawat S1 dengan D3?”, mungkin saya juga ga tau apa bedanya, karna saya belum bisa membuktikan perbedaan itu, toh saya juga masih belajar jadi perawat. Perbedaan antara perawat D3 dengan S1, Cuma bisa dibuktikan oleh kemampuan saya dan teman2 lain setelah nanti menjadi perawat lulusan S1 dan mulai bekerja. Karena bukti yang paling nyata adalah tindakan kita.

karena itu, semoga nantinya saya dan teman2 lainnya benar2 bisa membuktikan bahwa perawat S1 itu punya perbedaan dengan perawat D3. Dan nantinya, ga ada lagi orang yang nanya ‘kenapa ga jadi dokter skalian?”. Karena memang ga ada yang salah dengan perawat, lantas mengapa harus jadi dokter??

By_ Reta Dwi Lestari, Mahasiswa Profesi Reguler Keperawatan UI